BISNIS.COM, JAKARTA—Peningkatan impor kakao 2.127 ton atau hampir 50% pada Mei 2013 dibandingkan dengan bulan sebelumnya dipengaruhi oleh peningkatan daya saing industri pengolahan bahan baku cokelat dalam negeri.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik impor kakao per Mei 2013 tercatat sebanyak 4.336 ton senilai US$10,5 juta. Adapun, impor pada April 2013 hanya 2.209 ton dengan nilai US$5,279 juta.
Sekretaris Eksekutif Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) Firman Bakri mengatakan industri pengolahan dalam negeri sedang dalam tahap meningkatkan mutu produknya. Importasi biji kakao dinilai penting agar produksi bisa bernilai tambah.
“Impor kakao ini diolah di industri dalam negeri dan berorientasi ekspor. Biji kakao luar negeri ini memiliki kualitas dan aroma yang lebih baik karena sudah difermentasi,” katanya saat dihubungi Bisnis, Selasa (2/7/2013).
Dia menambahkan industri mau tidak mau harus melakukan importasi, karena bahan baku cokelat fermentasi ini tidak bisa didapatkan di dalam negeri. Kakao yang didatangkan biasanya berasal dari negara Afrika seperti Ghana, Pantai Gading, dan Kamerun.
Firman menyebutkan terdapat tiga faktor yang mendorong tren peningkatan impor kakao pada periode Januari-Mei 2013. Pertama, industri pengolahan dipastikan akan membuat diversifikasi produk. Langkah ini membutuhkan bahan baku dari negara lain untuk menghasilkan keragaman produk.
Kedua, pasar ekspor yang membutuhkan kualitas premium akan membuat industri pengolahan berlomba untuk meningkatkan kualitas produknya. Ketiga, bertambahnya industri kakao turut menambah kuantitas permintaan akan bahan baku impor.
Firman mengungkapkan saat ini produksi biji kakao masih mencukupi kapasitas produksi pabrik. Tahun lalu produksi biji kakao mencapai 453.000 ton dengan kapasitas produksi pabrik mencapai 310.000 ton.
Tahun ini ketersediaan pasokan diprediksi masih aman bila produksi biji kakao mencapai 500.000 ton dengan peningkatan kapasitas produksi pabrik menjadi 400.000 ton.