BISNIS.COM, JAKARTA— Penaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi, khususnya solar yang mencapai 22%, ternyata hanya menyebabkan kenaikan harga produk makanan dan minuman sekitar 1,5%.
Menurut Ketua Gabungan Perusahaan Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S. Lukman, penaikan harga BBM bersubsidi hanya mempengaruhi biaya distribusi terhadap harga produk sekitar 0,5%-2%.
“Berdasarkan asumsi penaikan harga solar 22%, akan ada penyesuaian harga makanan minuman sekitar 1%-1,5%. Kenaikan ini saya rasa tidak terlalu besar,” kata Adhi, Senin (24/6/2013).
Dia menambahkan biaya produksi makanan dan minuman sebesar 80% didominasi oleh bahan baku dan kemasan. Komponen bahan baku untuk industri makanan berkontribusi 55%--60%, sedangkan kemasan 20%-30% dari total biaya produksi.
Sebaliknya, komponen bahan baku pada industri minuman menyumbang 25%-30% dan kemasan hingga 40%-50% dari ongkos produksi. Kemasan menelan biaya yang besar karena mayoritas perusahaan menggunakan bahan plastik yang bervariasi.
“Sayangnya, bahan baku dan kemasan ini mayoritas masih bergantung pada impor,” ujarnya.
Dia merinci bahan baku produksi seperti daging, terigu, dan gula seluruhnya masih impor. Adapun untuk produk minuman yang membutuhkan bahan baku buah, 60% didatangkan dari luar negeri. Bahan baku kemasan rata-rata perusahaan juga masih impor hingga 50%.
Adhi mengaku prihatin dengan kondisi ini. Gapmmi sebenarnya lebih memprioritaskan bahan baku lokal dibandingkan dengan impor. Bahan baku impor dinilai lebih berbelit karena membutuhkan bermacam perijinan dan prosedur yang lebih lama. “Ini semua membutuhkan biaya lagi, tetapi kami tidak mempunyai pilihan,” ujarnya.