BISNIS.COM, JAKARTA—Kembalikan anak-anak ke bangku sekolah, mungkin itu kalimat yang paling tepat untuk mengentaskan anak-anak dari pekerjaan terburuk.
Bukan rahasia lagi jika sampai dengan saat ini masih ada anak-anak di Indonesia yang dipekerjakan oleh orang tuanya untuk membantu kehidupan keluarga sehari-hari.
Saat momentum perayaan Hari Dunia Menentang Pekerja Anak atau dikenal dengan World Day Against Child Labour yang diperingati setiap 12 Juni, masih ada anak-anak Indonesia yang dalam pekerjaan terburuk.
Sebut namanya Harjoko (10 tahun), yang harus berdiri di perempatan jalan kawasan Slipi, Jakarta Barat untuk mengamen, karena bapaknya hanya pedagang asongan dan ibunya peminta-minta.
Demikian juga Ahmad Arif , usia 14 tahun yang harus bekerja menjaga warung bersama dengan orang tuanya, karena tidak mampu melanjutkan sekolah selama dua tahun.
Akibatnya, anak kelahiran Dusun Mranggen kabupaten Magelang, Jawa Tengah itu tidak dapat mengikuti ujian kelas III SMP.
Kedua anak Indonesia itu memang bukan menjadi bagian dari 10,5 juta anak-anak di seluruh dunia yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga, yang sebagian besar dari mereka masih di bawah umur.
Namun, mereka berdua adalah anak-anak yang termasuk dalam 880.000 anak Indonesia yang bekerja atau menjadi bagian dari 5% anak berusia 10-14 tahun yang bekerja dan masih mencari pekerjaan.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional dan Kepala Bappenas Armida Salsiah Alisjahbana mengakui jumlah pekerja anak yang berusia di bawah 15 tahun di Indonesia cukup tinggi.
Bahkan, tidak sedikit di antara mereka yang melakukan pekerjaan yang secara tegas dilarang dalam konvensi maupun undang-undang.
Saat ini, menurut Menakertrans Muhaimin Iskandar, pemerintah sudah meratifikasi dua Konvensi ILO (International Labour Organization).
Konvensi itu adalah No.138 tentang mengenai Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja dan No.182 tentang Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak.
Bahkan, dengan diratifikasi kedua konvensi itu, adalah dengan menerbitkan UU No.20/1999 dan UU No.1/2000.
Selain itu, isi substansi tekhnis kedua Konvensi ILO terdapat pada UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan.
Memang dapat dimaklumi jika pekerjaan yang dilakukan oleh anak-anak adalah tergolong pekerjaan ringan, yaitu sekadar membantu orang tua dan tidak mengganggu jadwal mereka bersekolah.
Namun, kondisi seperti itu tidak dapat dibiarkan terus menerus, karena anak-anak harus mendapatkan perhatian yang lebih serius dengan menempuh pendidikan di sekolah demi masa depan mereka. (berlanjut)