BISNIS.COM, JAKARTA – Kebijakan penaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi dinilai parsial karena tidak diarahkan untuk menumbuhkan energi alternatif.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Fadhil Hasan mengatakan realokasi anggaran dari penaikan harga solar dan premium tidak dimanfaatkan untuk membangun infrastruktur energi alternatif.
Sayangnya, hingga rencana penaikan harga BBM dikemukakan, pemerintah belum memiliki peta jalan yang jelas mengenai kelanjutan program pemanfaatan energi baru terbarukan, seperti bioetanol dan biodiesel dari minyak sawit mentah (CPO) dan biji jarak.
Padahal, pengembangan energi baru terbarukan akan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil yang saat ini harus diimpor karena lifting minyak Indonesia yang terus menurun.
“Kenaikan harga BBM ini dilakukan dalam konteks sempit, hanya untuk menyelamatkan anggaran. Padahal, seharusnya ini menjadi bagian dari kebijakan energi yang menyeluruh,” katanya dalam diskusi Tanggapan INDEF terhadap APBN-P 2013, Senin (10/6).
Menurutnya, saat ini seluruh subsidi energi tersedot ke bahan bakar fosil, sedangkan subsidi ke bahan bakar nabati minim karena hanya diberikan saat harga biodiesel di atas harga bahan bakar fosil.
Subsidi yang diberikan pun hanya Rp2.000 per liter, jauh lebih rendah dari subsidi untuk premium dan solar yang mencapai Rp4.500 per liter.
Terlebih lagi, lanjut Fadhil, pembangunan infrastruktur untuk pemanfaatan energi baru terbarukan sangat lamban. Stasiun-stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) masih banyak menjual bahan bakar fosil, tidak dioptimalkan untuk distribusi gas dan biofuel.
Karena tidak ada dorongan untuk meningkatkan konsumsi di dalam negeri, kapasitas terpakai industri biodiesel di dalam negeri hanya 2,5 juta kiloliter (kl) dari kapasitas terpasang 4,5 juta kl. Itupun hanya 1 juta kl yang dikonsumsi dalam negeri, sedangkan 1,5 juta kl diekspor.
“Market-nya tidak ada. Pemerintah tidak menyiapkan pasar untuk biofuel,” ujarnya.