BISNIS.COM, JAKARTA— Pesta diskon tengah digelar di jakarta dalam ajang Jakarta Great Sale 2013, selain memanjakan konsumen juga sebagai ajang peritel untuk menghabiskan stok lama.
Christian F. Guswai, konsultan dan trainer yang juga menulis buku-buku seri buku ritel mengatakan ada dua fokus barang yang biasanya didiskon peritel dalam persentase besar.
"Memang ada beberapa peritel yang melakukan mark-up terlebih dahulu sebelum mendiskon, namun kebanyakan diskon besar-besaran khususnya di event-event puncak seperti liburan sekolah, hari besar keagamaan, itu adalah moment untuk menghabiskan barang dan itu adalah tindakan yang sangat rasional," kata Guswai melalui surat elektroniknya hari ini (5/6/2013).
Produk yang didiskon sampai 70% tersebut adalah, pertama, yang diobral besar-besaran oleh peritel adalah barang dalam kelompok general merchandise yang memiliki margin rata-rata antara 30%-50%. Itu adalah margin antara rata-rata, berarti ada kelompok barang yang memiliki margin di atas 50%. Untuk barang-barang import peritel menaikkan harga barang 200% dari harga modal.
Kedua, yang diobral itu juga sebagian besar adalah barang-barang lama dan tinggal sisa-sisa yang harus dibersihkan secara berkala karena dengan berbagai alasan antara lain model sudah kuno, kondisi barang sudah tidak terlalu baik, sudah agak lusuh, dan ada lecet kecil di sana-sini.
Ketiga, hanya bagian kecil barang saja jika dibanding dari total barang yang dijual peritel yang didiskon 70% sedangkan sebagian besar lagi tidak didiskon.
"Itu hanya sedikit alasan kenapa diskon itu mungkin dilakukan tanpa harus merugi," katanya.
Perhitungan diskon besar tapi tidak sampai merugikan konsumen, ujarnya, tidak menggunakan teknologi canggih, tapi merupakan hitungan matematika biasa.
Guswai mencontohkan jika peritel membeli 5.000 produk dengan harga pokok pembelian (HPP) Rp 1.000. Jika peritel ingin mendapatkan margin sebesar 40% maka peritel harus menjual Rp 1.666,67.
Produk tersebut belum tentu sukses dijual semua dengan harga yang diinginkan oleh peritel. Katakanlah ternyata barang tadi hanya mampu dijual dengan harga normal sebanyak 70% nya saja, berarti hanya terjual sebanyak 3.500 barang dengan harga Rp 1.666,67.
Sisanya yang 1.500 barang pada waktu yang sudah ditentukan, misalkan 6 bulan, sudah dianggap ketinggalan zaman. Daripada hanya memenuhi rak dan menjadi uang mati maka lebih baik dilakukan clearance sales, dan didiskon besar.
"Kalau perlu diskon 90%."ujarnya.
Jika sisa barang sebanyak 30% atau 1.500 produk diobral sampai dengan 90% pun maka peritel harus menjual dengan harga Rp 166,67. Memang untuk barang tersebut rugi dan memang di bawah harga perolehan.
namun jika dilihat hasil akhirnya. Penjualan 70% dari total persediaan awal ditambah penjualan 30% dari total persediaan yang diobral menghasilkan penjualan Rp6.083.333.
Modal atau HPP hanya Rp 5.000.000, artinya peritel masih mengalami untung Rp1.083.333 atau untung sebesar 17.81%. Memang tidak sebesar yang direncanakan namun juga tidak rugi. Hanya saja margin berkurang.
"Apa yang dilakukan peritel rasional. Justru jika peritel tidak melakukan diskon besar-besaran terhadap barang-barang yang sudah out of date atau kelompok barang dead stock (stok mati) maka akan ada risiko lebih buruk lagi yaitu tidak terjualnya barang sehingga menjadi uang mati," kata Guswai. (ltc)