BISNIS.COM, JAKARTA-Pekerja sektor transportasi yang tergabung dalam International Transport Workers Federation (ITF) mendesak Meneg BUMN Dahlan Iskan, tidak tinggal diam berkaitan dengan ancaman setop operasi armada angkutan barang dan peti kemas anggota Organda di pelabuhan Tanjung Priok dan sejumlah pelabuhan lainnya di daerah pada 3 Juni 2013.
ITF juga sangat prihatin dengan kondisi persaingan usaha antara PT Pelindo I-IV dengan perusahaan swasta di lingkungan pelabuhan, yang mengarah pada persaingan tidak sehat dan adanya upaya monopoli.
Kordinator ITF Asia Pasifik Hanafi Rustandi mengatakan kekisruhan dan sengketa bisnis ini agar dapat diselesaikan dengan baik, tanpa menimbulkan kerugian-kerugian ekonomi, terutama bagi buruh bongkar muat dan buruh transportasi.
“Meneg BUMN harus segera turun tangan mengatasi soal ini, sebab aksi setop operasi armada pelabuhan di Tanjung Priok akan memberikan dampak buruk bagi pelabuhan itu,” ujar Hanafi melalui siaran pers ITF hari ini, Minggu (2/6/2013).
Dia mengatakan Pelabuhan Tanjung Priok merupakan barometer pengelolaan sistem kepelabuhanan nasional, bahkan kegiatan pengapalan ekspor impor dan antar pulau dinominasi atau lebih 65%-nya melalui pelabuhan tersebut.
“Citra pelabuhan Indonesia khususnya Tanjung Priok akan tercoreng bahkan di bisa di blacklist oleh pelaku maritim dunia jika setop operasi terjadi apalagi jika sampai berlarut-larut,” turunya.
Hanafi yang juga President Kesatuan Pelaut Indonesia, mengatakan dampak atas setop operasi itu, kapal-kapal asing yang melayani pelabuhan Priok akan mengenakan biaya tambahan atau surcharges, atas kondisi resiko dalam pengapalan. “Ini berakibat biaya logistik akan semakin mahal,” turunya.
Dia menyebutkan, keberadaan PT Pelindo sebagai BUMN yang memberikan layanan publik harus dikembalikan kepada tugas pokok dan fungsinya sebagai pelabuhan umum,bukan sebagai korporasi asing.
Sebab, kata dia, langkah Pelindo saat ini berpotensi mengarah kartel bisnis tunggal, dimana segala-galanya hanya tergantung pada kebijakan satu pihak, termasuk menyangkut upah dan kesejahteraan buruh di pelabuhan.
Hanafi mengatakan, suasana tidak kondusif iklim bisnis di Pelabuhan saat akibat ekspansi bisnis PT Pelindo II dengan membentuk beberapa anak usaha, di antaranya PT Pelabuhan Tanjung Priok, PT Pengembangan Pelabuhan Indonesia, PT Indonesia Kendaraan Terminal dan PT Energi Pelabuhan Indonesia.
Masalah tersebut, kata Hanafi, menjadi pemicu terjadinya ancaman aksi mogok oleh pelaku usaha swasta yang selama ini menggeluti bidang usaha yang sama, terutama di bidang pengangkutan (trucking) dan bongkar muat.
Padahal, kata dia, disisi lain kodisi buruh bongkar-muat dan buruh transportasi di pelabuhan-pelabuhan seluruh Indonesia, termasuk Tanjung Priok, masih mengenaskan akibat upah yang rendah dan tidak adanya jaminan kesejahteraan yang memadai.
Menurut hanafi, besaran upah buruh pelabuhan di Indonesia saat ini lebih buruk dibanding upah buruh pelabuhan di Vietnam, Burma dan Pilipina. Apalagi bila dibandingkan dengan Malaysia, Singapura, Hongkong dan Australia, upah buruh pelabuhan di Indonesia sangat jauh tertinggal.
“Malahan dengan membentuk gurita bisnis itu membuka peluang penggunaan tenaga outsourcing di semua lini usahanya,” ujar dia.(K1)