BISNIS.COM, JAKARTA--Pelaku usaha pertambangan meminta pemerintah memberikan kemudahan bagi perusahaan pertambangan untuk mendapatkan pinjaman bank agar dapat melaksanakan kebijakan peningkatan nilai tambah mineral di dalam negeri.
Ketua Komite Lintas Asosiasi Pertambangan Minerba Irwandy Arif mengatakan pemerintah perlu segera menerbitkan kebijakan insentif fiskal dan memberikan keleluasaan bagi pelaku industri pertambangan yang berkomitmen membangun smelter. Pasalnya, untuk membangun smelter diperlukan investasi yang besar dengan tingkat pengembalian modal yang cukup lama.
“Kebijakan untuk membantu pengusaha mendapatkan pinjaman agar dapat membangun smelter sangat diperlukan, karena mitigasi risiko nonteknis dan politis bukan hanya menjadi tanggung jawab pengusaha saja, tapi juga pemerintah yang menjadi bagian di dalamnya,” katanya saat menyampaikan sikap Komite Lintas Asosiasi Pertambangan Minerba di Jakarta, Senin (15/4).
Hasil Kajian Lembaga Afiliasi Penelitian dan Industri Institut Teknologi Bandung (LAPI-ITB) menunjukkan pengembalian modal untuk pembangunan smelter dengan proses elektrolisis membutuhkan waktu 28 tahun.
Padahal, untuk membangun smelter dengan kapasitas 200.000 ton per tahun dibutuhkan investasi sebesar US$1,20 miliar.
Irwandy mengungkapkan Komite Lintas Asosiasi Pertambangan Minerba telah mengusulkan agar pemerintah melibatkan asosiasi pelaku usaha pertambangan dan jasa usaha pertambangan dalam menyusun kebijakan yang menyangkut UU Minerba.
Dengan demikian, kebijakan yang dihasilkan dapat dilaksanakan dan membawa manfaat bagi negeri.
Martiono Hadianto, Ketua Umum Indonesia Mining Association (IMA) mengatakan kebutuhan dana untuk membangun smelter memang menjadi masalah tersendiri bagi pengusaha dalam melaksanakan amanat UU Minerba.
“Kebutuhan dana yang mencapai US$1 miliar [untuk membangun smelter] tidak dapat diperoleh dengan sederhana. Dana sebesar itu tidak dapat diperoleh dari 1 institusi, sehingga perlu konsorsium. Jika dilakukan konsorsium pun harus ditentukan apakah konsorsium dalam negeri atau boleh ada partisipasi luar negeri. itu semua harus diatur dengan jelas,” ujarnya. (if)