BISNIS.COM, JAKARTA -- Perusahaan farmasi diklaim telah melakukan pelatihan dan pengembangan bagi pada medical representative, bahkan beberapa diantaranya telah membekalinya dengan alat digital seperti komputer genggam atau tablet.
Presiden Direktur Novartis Indonesia Luthfi Mardiansyah mengatakan pihaknya telah memberikan pengenalan mengenai pengetahuan akan produk obat, cara kerja obat, serta penyakit pada medical representative. Namun, latar belakang pendidikan mereka yang menjadi masalah utama.
“Masalahnya, rata-rata latar belakang pendidikan mereka bukan berasal dari science, kebanyakan malah dari ekonomi dan hukum. Pengalaman mereka juga masih dibawah tiga tahun,” kata Luthfi kepada Bisnis, Selasa (26/3/2013).
Dia menambahkan perbedaan pengetahuan kesehatan menjadikan praktisi kesehatan ini merasa tidak terlalu memerlukan medical representative. Seharusnya, mereka saling membutuhkan terutama dalam penggunaan obat.
Luthfi mengharapkan kedepan para medical representative bisa lebih intensif berkomunikasi dengan praktisi kesehatan. Mereka harus bisa memanfaatkan keterbatasan waktu dokter dengan mengoptimalkan fungsi alat digital.
Praktisi kesehatan memang menilai medical representative atau MR belum cukup dipercaya sebagai sumber informasi diagnosa, pengobatan, dan kesehatan umum. Selama ini, mereka hanya efektif sebagai penyedia informasi untuk obat baru
Berdasarkan riset yang dilakukan Edelman dan Universitas Gadjah Mada, 64% responden menggunakan MR hanya sebagai sumber utama untuk obat baru. Forum ilmiah nampaknya masih dipercaya para praktisi kesehatan sebanyak 78% khususnya bagi informasi baru pengobatan, sedangkan MR hanya 3%. Bahkan internet memiliki angka kepercayaan yang tinggi, yakni 54%.
Survey ini dilakukan pada November-Desember 2012 ini melibatkan 421 praktisi kesehatan dari Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Medan. Sampel dari empat kota ini dipilih karena mempunyai jumlah praktisi kesehatan yang terbanyak di Indonesia.