JAKARTA -- Lembaga pembiayaan khusus sektor pertanian sudah mendesak dibentuk. Menurut Ketua Umum Kelompok Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA), Winarno Tohir, lembaga pembiayaan yang ada saat ini tidak cocok dengan pola bisnis sektor pertanian.
"Memang sudah ada lembaga pembiayaan seperti bank dan pegadaian. Namun, pola pengembalian pinjaman lembaga pembiayaan tersebut tidak cocok dengan petani," ujarnya, Selasa (12/02/2013).
Tohir mencontohkan pola pengembalian pinjaman bank yang biasanya dilakukan sebulan sekali. Hal tersebut menyulitkan petani karena mereka biasanya baru mendapatkan dana setelah musim panen tiba.
Ketidakcocokan pola pengembalian pinjaman tersebut, lanjutnya, juga terjadi untuk pegadaian yang berlangsung 15 hari. Akibatnya, petani lebih suka meminjam dari rentenir karena pola pengembalian yang lebih fleksibel.
Selain persoalan pola pengembalian, persyaratan pinjaman dari lembaga pembiayaan konvensional menjadi masalah tambahan. Menurutnya, persayaratan yang diberikan rentenir cenderung lebih mudah dibandingkan dengan lembaga pembiayaan lainnya.
"Yang petani cari itu sebetulnya bukan kemurahan, tetapi kemudahan. Buktinya mereka mau meminjam dari rentenir meskipun bunganya lebih besar," ungkapnya.
Mengambil contoh pembiayaan dari negara lain, lembaga pembiayaan di Indonesia cenderung tidak ramah dengan petani. Tohir mencontohkan negeri Sakura Jepang yang menganut sistem grass period yang pola pengembaliannya dilakukan berdasarkan musim panen.
"Mangga misalnya baru bisa berbuah setelah tahun ketiga, jadi pengembaliannya dilakukan setelah tahun ketiga pinjaman," ungkapnya.
Tohir mengklaim adanya lembaga pembiayaan yang ramah dengan sektor pertanian berbanding lurus dengan kemajuan sektor ini. Thailand misalnya berhasil merubah image sektor pertanian menjadi sektor unggulan, sedangkan Prancis berhasil mengangkat sektor ini dengan Credit Agricole-nya.
Anggota Komisi IV DPR Vivayoga Mauladi mengatakan persoalan lembaga pembiayaan petani sudah dimasukkan dalam draft Rancangan Undan-undang tentang Perlindungan dan Pembiayaan Petani.
"Sebagian besar petani di Indonesia adalah petani gurem dengan kepemilikan lahan di bawah 0,5 hektare. Mereka itu tidak bankable, sehingga kami memasukkan masalah lembaga pembiayaan dalam draft RUU," ungkapnya.
Vivayoga menambahkan alternatif terbaik untuk pembiayaan petani adalah penunjukkan bank tertentu oleh pemerintah untuk menangani pembiayaan sektor pertanian. Pembentukan bank khusus petani diakuinya sulit terwujud karena terganjal oleh UU yang ada.