JAKARTA – Dewan Perwakilan Rakyat akan mempertegas aspek pidana di dalam revisi Undang-Undang Jasa Konstruksi No 18/1999 sebagai acuan di dalam pertanggungjawaban pelaksanaan jasa konstruksi di Indonesia.
Wakil Ketua Komisi V DPR RI Mulyadi mengatakan aspek pidana tersebut sebetulnya sudah ada di dalam UU Jasa Konstruksi namun belum diatur secara tegas dan tajam.
Tanpa adanya aturan yang tegas terkait aspek pidana di dalam pembangunan konstruksi, penegak hukum akan mengalami kesulitan untuk menentukan pihak yang harus bertanggungjawab bila terjadi kegagalan bangunan yang menelan korban, seperti kejadian runtuhnya jembatan Kutai Kartanegara, November 2011.
“Supaya tidak membingungkan penegak hukum yang bukan ahli di bidang konstruksi, maka harus dipertegas mengenai hukum pidana untuk memudahkan dalam hal penegakan hukum,” ucapnya, Rabu (11/7/2012).
Selain itu, dengan adanya aturan yang tegas dan jelas, pelaksana jasa konstruksi akan lebih berhati-hati dan bertanggungjawab ketika melaksanakan proses pembangunan. Tidak hanya sekedar terbangun tetapi juga harus aman untuk digunakan.
“Masyarakat harus dilindungi. Begitu bangunan jadi dan keluar sertifikat layak huni, di sana ada tanggung jawab pidana bila terjadi kegagalan konstruksi. Kalau sekarang sertifikat layak huni hanya keluar-keluar saja,” tuturnya.
Di samping itu, jangka waktu pertangungjawaban jaminan konstruksi bila terjadi kegagalan bangunan rencananya akan diperpanjang dari 10 tahun menjadi 50 tahun sehingga akan lebih terantisipasi sejak awal perencanaan hingga pengoperasian.
Menurutnya aturan tersebut akan diberlakukan untuk seluruh bangunan baik yang dibiayai oleh APBN maupun bangunan yang dilaksanakan oleh pihak swasta. “Ini untuk semua bangunan demi menjaga keselamatan masyarakat pada umumnya.” (msb)