JAKARTA: Ekspektasi inflasi yang meningkat akibat penundaan rencana penaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi diakui mulai mempengaruhi tingkat bunga surat utang negara.
Direktur Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan Rahmat Waluyanto mengakui ada kenaikan tingkat bunga SUN akibat ekspektasi inflasi yang dipicu oleh penundaan rencana penaikan harga BBM bersubsidi.
"Sekarang itu ada kenaikan tapi tipis sekali, sekitar 1 basis poin, maksimum 2 basis poin. Memang karena espektasi inflasi meningkat dan itu terjadi di semua bonds di seluruh dunia," ujar Rahmat di kantor Kementerian Keuangan, Kamis 5 April 2012.
Menurutnya, kenaikan harga minyak dunia dan munculnya ekspektasi inflasi seiring rencana kenaikan harga BBM berpengaruh pada investor di pasar SUN. Namun, kata Rahmat, belum ada gejolak yang mengkhawatirkan dan pasar SUN masih cenderung normal.
"Memang ada yang melepas SUN, tapi ada juga yang beli. Jadi netonya masih netral," kata Rahmat.
Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang mencatat kepemilikan obligasi negara terutama oleh investor asing per 9 Maret sebesar Rp225,92 triliun, terus menyusut dibandingkan posisi Januari Rp235,97 triliun dan Februari Rp226,98 triliun.
SANGAT SENSITIF
Sebelumnya, Kepala Ekonom Bank Dunia untuk Indonesia Shubham Chaudhuri mengingatkan bahwa investor di pasar SUN sangat sensitif terhadap gejolak harga minyak dunia dan ekspektasi melonjaknya inflasi yang mengiringinya. Pasalnya, investor di pasar SUN akan memandang prospek makro ekonomi Indonesia dalam jangka panjang sebelum menanamkan modalnya dengan membeli SUN yang diterbitkan pemerintah.
"Meningkatnya harga minyak dunia bisa meningkatkan biaya penerbitan SUN. Seperti yang terjadi pada Maret 2008-Maret 2009, saat harga minyak naik, yield SBN 5 tahun ikut meningkat," tuturnya.
Ekspektasi inflasi ini, tambah Shubham, berisiko meningkatkan biaya penerbitan surat berharga.
Dalam APBN-P 2012, untuk menutup defisit 2,23% atau Rp190,1 triliun, pemerintah berencana menerbitkan SBN neto Rp159,59 triliun. Sementara realisasi penerbitan neto tercatat mencapai Rp56,82 triliun hingga akhir Maret lalu.
Destry Damayanti, Kepala Ekonom Bank Mandiri, menambahkan permintaan SBN masih tinggi sehingga tidak perlu dilakukan pembatasan penerbitan.
"Saya rasa tidak perlu, sebaiknya on schedule. Karena dengan APBN-P itu kan penambahan penerbitan Rp25 triliun, padahal defisit melebar sekitar Rp60 triliun, tapi tidak semuanya dialokasikan ke pembiayaan. Baru-baru ini ada lelang dan demand-nya masih tinggi," tuturnya. (ea)
BACA JUGA:
DEMO BURUH terbesasr di India sepanjang sejarah gara-gara EMAS berakhir