JAKARTA: Dampak kenaikan harga BBM bersubsidi dinilai akan cepat diserap konsumen domestik seiring meningkatnya pendapatan per kapita dan semakin besarnya size ekonomi Indonesia. Goncangan inflasi pun cenderung moderat.
Taimur Baig, Chief Economist untuk Indonesia, India, dan Singapura Deutsche Bank , mengatakan dampak kenaikan bahan bakar minyak bersubsidi akan cenderung moderat karena pertumbuhan ekonomi Indonesia terbilang kuat.
"Memang akan ada peningkatan inflasi, tapi ekonomi Indonesia akan dapat menyerapnya dengan cukup cepat karena kan pendapatan per kapita makin meningkat, tingkat kepercayaan konsumen juga naik," ujarnya hari ini.
Baig memperkirakan lonjakan laju inflasi tahun ini mencapai 6% pada pertengahan 2012, dan meningkat jadi 7% pada akhir tahun.
Meski menimbulkan dampak inflasi yang cukup tinggi, Baig menilai langkah pemerintah untuk meningkatkan harga BBM bersubsidi sebagai langkah yang tepat guna menjaga stabilitas makroekonomi.
"Harga BBM di Indonesia itu paling murah di antara negara lain di kawasan Asean, bahkan harga di Filipina atau Vietnam sudah 2 kali lipatnya. Lagi pula harga BBM Rp6000 per liter bukan pengalaman yang pertama," katanya.
Baig optimistis peningkatan harga jual BBM bersubsidi Rp1500 per liter tidak berdampak signifikan terhadap laju pertumbuhan ekonomi.
Apalagi, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tidak terlalu bergantung pada ekspor, meminimalisir dampak negatif krisis Eropa dan Amerika Serikat yang melebar ke konteks global melalui jalur transmisi perdagangan.
"Proyeksi Deutsche Bank pertumbuhan ekonomi Indonesia 2012 berada di kisaran 6,3%—6,5% dan mungkin bisa sampai di level yang sama tahun depan," kata Baig.
Menurutnya, saat ini perekonomian Indonesia menunjukkan performa terbaik dalam 15 tahun terakhir. Pasalnya, setelah melambat selama 1 dekade akibat krisis keuangan Asia 1997—1998, ekonomi Indonesia berangsur membaik didukung oleh rendahnya rasio utang pemerintah, rendahnya rasio utang rumah tangga, sumber daya manusia yang menjanjikan, komoditas yang kaya, serta pertumbuhan kelas menengah.
"Ini kunci untuk menarik investasi jangka menengah dan panjang. Tapi memang defisit pada neraca pembayaran harus diwaspadai, karena kebutuhan impor minyak sangat tinggi, meski harga komoditas ekspor unggulan Indonesia juga cenderung meningkat," pungkas Baig. (sut)