JAKARTA: Kebijakan penghapusan subsidi bahan bakar minyak secara bertahap dengan realokasi anggaran untuk program spesifik (earmark programs) dianggap sebagai kebijakan yang paling dapat diterima rumah tangga Indonesia.
Hal tersebut terungkap dari hasil eksperimen yang dilakukan Penelitan dan Pelatihan Ekonomika dan Bisnis (P2EB) Universitas Gajah Mada terhadap 335 anggota masyarakat.
Dalam penelitian yang berlangsung sajak September 2011 hingga Februari 2012 ini, responden dibagi ke dalam tiga kelompok, yakni kelompok yang tidak memiliki kendaraan bermotor sama sekali, kelompok yang hanya memiliki sepeda motor, dan kelompok yang memiliki satu atau lebih kendaraan roda empat.
"Kebijakan ini sangat kental dengan nuansa politik pencitraan, maka kami tidak menanyakan mengenai ‘pengurangan subsidi BBM’ namun menanyakan hal yang paling ditakuti oleh pendukung dan pelaku politik pencitraan, yaitu ‘penghapusan subsidi BBM’," jelas Ketua Tim P2EB UGM Rimawan Pradiptyo dalam paparan hasil penelitian yang diterima Bisnis, Sabtu 3 Maret 2012.
Rimawan mengungkapkan dari sudut pandang rumah tangga, penghapusan subsidi yang optimal adalah dengan menaikkan harga secara bertahap dan mengalokasikan penghematan anggaran subsidi untuk program-program yang spesifik, seperti vaksinasi dan pengembangan sistem transportasi massal, misalnya pembangunan mass rapid transportation (MRT).
"Sementara masyarakat yang memiliki kendaraan roda empat lebih menginginkan kebijakan penghapusan subsidi secara bertahap agar mereka dapat meminimalisasi efek kejut dalam peningkatan belanja BBM," ujarnya.
Menurut Rimawan, tidak mengherankan pemilik mobil merasa keberatan dengan pengurangan atau bahkan penghapusan subsidi BBM. Pasalnya, per minggu pemilik mobil mengkonsumsi 30-40 liter BBM bersubsidi atau mendapat subsidi BBM dari pemerintah lebih dari Rp100.000 per minggu.
"Tidak mengerankan kalau 70% subsidi BBM dinikmati oleh 40 rumah tangga terkaya di Indonesia, sementara dampak langsung ke rumah tangga miskin cenderung minimum," tegasnya.
Berdasarkan penelitian yang digelar UGM bersama The Economy and Environmental Programs for South East Asia (EEPSEA) Canada ini, terungkap pula bahwa masyarakat sangat tidak setuju apabila penghematan APBN dari pos subsidi BBM dialokasikan untuk program non-spesifik, seperti pembayaran pokok utang luar negeri beserta bunganya.
Sementara itu, Wakil Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Lukita Dinarsyah Tuwo mengatakan penyesuaian subsidi BBM dilakukan untuk menjaga kesehatan fiskal dan mengakselerasi pertumbuhan ekonomi. Menurut Lukita, efisiensi pos belanja subsidi BBM akan direalokasikan pada program kompensasi dan pembangunan infrastruktur.
"Kan ada pengeluaran lain yang harus dilakukan, seperti kompensasi untuk menjaga daya beli masyarakat dan program akselerasi infrastruktur, serta penyesuaian anggaran pendidikan," ujarnya.
Program kompensasi kenaikan harga BBM terhadap masyarakat miskin, kata Lukita, akan memperbesar anggaran bantuan sosial, terutama untuk program bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM) dan beras miskin.
Dalam APBN 2012, pemerintah mengalokasikan anggaran bantuan sosial sebesar Rp63,6 triliun. Sementara program BLSM diperkirakan membutuhkan anggaran sebesar Rp30 triliun-40 triliun.
Rimawan menambahkan, secara konseptual impelementasi program kompensasi langsung tunai efektif untuk meredam jatuhnya daya beli masyarakat seiring kenaikan harga BBM. Namun, pelaksanaannya di lapangan harus tepat sasaran.
"Iran sukses menghapus subsidi BBM-nya justru dengan meniru Indonesia dalam menggunakan BLT. Bedanya, mereka salurkan via rekening bank dan masyarakat miskin diminta membuka rekening bank 6 bulan sebelum BLT disalurkan," paparnya. (04/Bsi)