JAKARTA: Koordinator Residen Perserikatan Bangsa-Bangsa di Indonesia El-Mostafa Benlamlih menuturkan upah buruh yang rendah dan harga bahan bakar yang murah tidak akan menciptakan pembangunan yang berkelanjutan.
"Upah buruh yang murah dan harga jual sumber daya alam yang murah tidak bisa membuat pertumbuhan ekonomi yang sustainable," tegasnya dalam seminar Hitachi Eco Conference 2012, Kamis 16 Februari 2012.
Benlamlih juga menegaskan agar Indonesia mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil dan mendorong bahan bakar alternatif yang ramah lingkungan. Karena, harga minyak dunia akan sangat fluktuatif terpengaruh kondisi supply-demand dunia, dan kondisi geopolitik dunia.
"Kalau konflik Selat Hormuz itu belum reda, harga minyak bisa-bisa mencapai US$300 per barel. Dan negara-negara berkembang seperti China dan India yang minyaknya 65% impor dari sana akan mengalami kekurangan suplai," ujarnya.
Selain masalah energi, lanjut Benlamlih, pertumbuhan ekonomi dan pembangunan yang berkelanjutan menuntut dukungan infrastruktur fisik dan berwawasan intelejen, serta menurunkan kerusakan lingkungan dan mengurangi konflik geopolitik.
"Infrastruktur ini akan mentransformasi masyarakat dengan mempererat produksi, perdagangan, dan konsumsi yang akan membuka cakrawala baru," tuturnya.
Arianto A. Patunru, peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia menuturkan sebagian daerah di Indonesia termasuk dalam 'Produk Domestik Bruto Coklat' (brown GDP), yakni daerah yang pertumbuhan ekonominya berdampak buruk terhadap lingkungan. Misalnya, maraknya penebangan hutan dan peningkatan emisi gas karbon.
"Provinsi Papua, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Barat, Riau dan Sumatera Selatan peringkat rendah dalam urutan 'green GDP' regional. Mayoritas provinsi berbasis sumber daya alam, kemajuan ekonominya akan cenderung tidak berkelanjutan," ungkapnya.
Arianto menilai Indonesia sudah mulai fokus dalam memerangi perubahan iklim global. Namun, masih ada beberapa tantangan, seperti pengurangan emisi, pembiayaan, dan isu kelembagaan.
"Ke depan harus mengupayakan "PDB Hijau", penyesuaian anggaran, carbon pricing, dan meningkatkan koordinasi. Anggaran pemerintah itu harus seimbang, harus langsung diarahkan untuk area yang pembangunannya minim," kata Arianto. (ea)