JAKARTA: Pemerintah menyatakan pengembangan mobil nasional yang mencapai skala keekonomian membutuhkan investasi tahap awal hingga Rp2 triliun.
Menteri Perindustrian M.S. Hidayat mengatakan dengan investasi sebesar itu kemandirian industri otomotif lokal yang mulai serius mengembangkan mobil merek nasional secara terintegrasi dari hulu ke hilir diharapkan dapat tercapai secara bertahap mulai tahun ini.
“Untuk menjadi industri yang bersifat massal, komersial, feasible dan terhitung masuk pada skala keekonomian, pada umumnya produksi mobil tersebut harus mencapai sekitar 40.000 unit per tahun dengan investasi sekitar Rp2 triliun,” kata Hidayat dalam jawaban tertulis kepada Komisi VI DPR hari ini.
Adapun, investasi tahap awal tersebut dialokasikan untuk modal kerja di antaranya pembangunan pabrik perakitan (assembling) dan sistem teknologi permesinan, bahan baku, pengadaan lahan, perizinan, uji laik jalan, hingga pergudangan.
Namun, investasi tersebut belum termasuk jaringan dan tenaga pemasaran di beberapa daerah. “Untuk itu, mobnas membutuhkan dukungan entrepreneur tangguh serta para pemodal serius yang mampu bekerja ekstra keras agar mobnas bisa diterima konsumen,” katanya.
Pada dasarnya, kata Hidayat, pemerintah mendukung inisiatif merek-merek mobil nasional tampil dan berkembang dalam dunia otomotif.
Beberapa dukungan tersebut di antaranya berbentuk promosi dan pemasaran, fasilitasi pencarian investor, uji coba prototype, pelatihan sumber daya lokal hingga peningkatan kemampuan industri komponen.
“Saya juga setuju apabila pengadaan pemerintah baik pusat dan daerah dapat menyerap mobnas secara berkelanjutan. Langkah pemerintah ini bisa menjadi contoh untuk masyarakat agar gemar terhadap produk Indonesia,” katanya.
Direktur Jenderal Industri Unggulan Berbasis Teknologi Tinggi Kemenperin Budi Darmadi mengklaim pemerintah telah memberikan dukungan perizinan untuk nomor identifikasi kendaraan (NIK) kepada mobil merek nasional.
“Sejumlah NIK yang sudah diberikan di antaranya untuk mobil merek Tawon pada Juni 2008, Komodo pada Desember 2007, Gea pada Mei 2007, Mahator pada Juni 2007, Kancil pada Oktober 2009 dan Esemka pada Juni 2010,” ungkapnya.
Pada sisi lain, Anggota Komisi VI DPR (F-Demokrat) Hari Kartana mempertanyakan strategi pemerintah terkait dengan tingkat kandungan lokal (TKDN) di serta pemisahan penghitungan atas desain dan permesinan terhadap produk akhirnya dalam proyek mobnas.
“Jangan sampai pemerintah mengaku punya proyek mobnas tapi semua komponennya diimpor,” ujarnya.
Kandungan lokal
Dalam kaitan tersebut, Budi menjelaskan produk otomotif yang mendukung sektor produksi dan transportasi publik ditargetkan wajib memiliki kandungan lokal paling sedikit 40% agar dapat menembus pasar bebas Asean.
Untuk kendaraan jenis MPV (multipurpose vehicle) dan pikap, kandungan lokalnya saat ini bahkan sudah mencapai hingga 80%, sedangkan truk di bawah 10 ton mencapai 70% dan SUV (sport utility vehicle) di bawah 2.000 cc diklaim telah mencapai 70%.
“Artinya, target minimum tersebut sudah berhasil dicapai. Kami berharap program pengembangan mobnas juga bisa mengikuti acuan ini tapi dengan kandungan lokal yang lebih tinggi,” katanya.
Berdasarkan catatan Kemenperin, cikal bakal pengembangan mobnas secara serempak dan berorientasi komersial mulai tumbuh pada 2009. Adapun, segmentasi pasar yang telah digarap baru sebatas kelas 700 cc sehingga cikal bakal mobnas kerap disebut mobil mikro.
Beberapa prinsipal lokal yang terlibat di antaranya PT Inka (Persero) dengan merek Gea, PT Super Gasindo Jaya (Tawon), dan PT Maha Era Motor (Mahator) dan PT Solo Manufaktur Kreasi (Esemka). (sut)