Kronologis sengketa lahan PTBA di Kabupaten Lahan | |
September 2003 PT BA mengantongi izin Gubernur Sumsel dengan SK No.461/KPTS/PERTAMBEN/2003 tertanggal 11 September 2003. | |
Januari 2004 Gubernur Sumbel meninjau ulang izinnya atas desakan Bupati Lahat karena sebagai pemilik lahan dirinya merasa tidak dimintai persetujuan. Selanjutnya proses perizinan dilimpahkan ke pada Bupati Langkat. | |
Januari 2005 Lahat malah mengeluarkan ijin KP pertambangan eksplorasi selama 3 tahun ke PT Mustika Indah Permai yang diakuisisi oleh PT Adaro Energy. Bupati Lahan juga membagi-bagikan izin lahan kepada 33 perusahaan swasta lainnya yang masing-masing memiliki masa konsesi. | |
Tahun 2006 PTBA telah melaporkan hal ini kepada KPK namun karena belum berproduksi maka belum ditemukan adanya indikasi potensi kerugian negara | |
Tahun 2008 Proses transaksi pembelian oleh Adaro dan diketahui adanya potensi sebesar US$223 juta di lahan seluas 2.742 hektar atau 11% dari total seluruh lahan. | |
April 2010 Akhirnya, PTBA melaksanaan valuasi nilai aset yang dikeluarkan pada April 2010 berdasarkan nilai transaksi tersebut, ditemukan aset sebesar US$2,2 miliar dalam lahan dengan cadangan 1,9 miliar ton batu bara tersebut. | |
Tahun 2011 Proses gugatan PTBA kepada Bupati melalui PTUN masih terus berlarut-larut, dan yang dia sayangkan ialah tidak adanya sidang terbuka. |
TANJUNG ENIM, Sumsel: Pencabutan ijin Kuasa Pertambangan (KP) Eksploitasi PT Bukit Asam di lahan seluas 24.751 hektar di Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan oleh Bupati Lahat berpotensi merugikan negara hingga US$2,2 miliar.
Pasalnya, PT Bukit Asam (PTBA) merupakan Badan Usaha Milik Negara yang 65% sahamnya dimiliki oleh negara sementara 35% saham perusahaan terbuka ini milik masyarakat.
Direktur Utama PTBA Milawarma mengatakan Bupati Lahat telah sewenang-wenang mencabut peningkatan ijin eksploitas PTBA dan menyerahkannya begitu saja kepada 34 perusahaan swasta.
“Sebagai perusahaan merah putih kami merasa sakit hati. Lahan dengan aset US$2,2 miliar yang seharusnya masuk ke kas negara itu, diakalin dan tiba-tiba diberikan kepada swasta,” sesalnya ketika berbincang dengan wartawan di Tanjung Enim, Kamis (19 Januari) lalu.
Apalagi, sambung Mila, perusahaannya telah menghabiskan anggaran sebesar Rp206 miliar untuk melaksanakan mulai dari proses penyelidikan umum sejak tahun 1990, hingga eksplorasi potensi batu bara sampai 2003.
Dalam proses tersebut, PTBA menemukan potensi cadangan batubara sebanyak 1,9 miliar ton dengan cadangan tertambang 220 juta ton di lahan seluas 24.751 hektar. Melalui proses ekplorasi seharusnya PTBA memiliki hak tunggal melakukan eksploitasi sesuai UU No.11/1967 tentang Pokok-Pokok Pertambangan.
Apalagi PTBA telah memiliki ijin eksploitasi di lahan tersebut oleh Gubernur Sumsel pada 11 September 2003 dengan SK No.461/KPTS/PERTAMBEN/2003.
Namun dalam perjalannnya, Bupati terkait merasa keberatan karena sebagai pemilik lahan dirinya merasa tidak dimintai persetujuan sehingga pada 7 Januari 2004 Gubernur Sumsel mengirim surat kepada PTBA untuk peninjauan kembali ijin eksploitasi.
Dalam proses peningkatan status tersebut, sambungnya, terjadi pergantian Gubernur Sumsel yang kemudian mengeluarkan pencabutan keputusan gubernur terdahulu tentang pemberian ijin KP eksploitasi.
Ijin peningkatan status kemudian diserahkan kepada Bupati. Namun Sayangnya, pengajuan tersebut tidak dikabulkan sepenuhnya oleh Bupati Lahat, bahkan diminta untuk kembali melakukan proses penyelidikan umum.
Ironisnya, pada 1 Januari 2005 saat proses masih berlanjut, Bupati Lahat malah mengeluarkan ijin KP pertambangan eksplorasi selama tiga tahun ke PT Mustika Indah Permai yang diakuisisi oleh PT Adaro Energy (ADRO).
Lahan tersebut sepenuhnya tumpang tindih dengan lahan yang dimiliki PTBA yang menjadi wilayah sengketa yang masih dalam proses PK di MA dan masih belum ada keputusan hingga saat ini. Bukan hanya ADRO, lahan pun dibagi-bagikan Bupati kepada 33 perusahaan swasta lainnya yang masing-masing memiliki masa konsesi.
Pada 2006 sebetulnya PTBA telah melaporkan hal ini kepada KPK namun karena belum berproduksi maka belum ditemukan adanya indikasi potensi kerugian negara. Barulah sejak 2008, setelah adanya proses transaksi pembelian oleh ADRO diketahui adanya potensi sebesar US$223 juta di lahan seluas 2.742 hektar atau 11% dari total seluruh lahan.
Akhirnya, PTBA melaksanaan valuasi nilai aset yang dikeluarkan pada April 2010 berdasarkan nilai transaksi tersebut, ditemukan aset sebesar US$2,2 miliar dalam lahan dengan cadangan 1,9 miliar ton batu bara tersebut.
Hingga saat ini, sambungnya proses hukum atau gugatan PTBA kepada Bupati melalui PTUN masih terus berlarut-larut, dan yang dia sayangkan ialah tidak adanya sidang terbuka.
“Kami tidak bermasalah dengan ADRO, tidak ada kaitannya. Mereka kan hanya pembeli. Yang aneh itu penjualnya (bupati), Sebagai perusahaan BUMN yang mengelola aset negara kami akan mengusut ini terus sampai prosesnya jelas.”
Meski adanya proses sengketa di Lahat, namun Mila memastikan hal tersebut tidak mempengaruhi produksi dan program pengembangan PTBA saat ini dan ke depan. “Tidak mempengaruhi. Cadangan tertambang hanya sekitar 220 juta dari total 1,59 miliar cadangan tertambang PTBA yang ada di Kabupaten Muara Enim dan Lahat.” (sut)