Bisnis.com, JAKARTA – Presiden Amerika Serikat Donald Trump menegaskan sikap kerasnya terhadap sentimen anti-Amerika yang diusung BRICS. Dia mengancam memberlakukan tarif tambahan sebesar 10% terhadap negara mana pun yang dianggap sejalan dengan kebijakan tersebut
Ancaman tersebut menambah ketidakpastian di tengah negosiasi tarif dagang yang masih berlangsung dengan sejumlah mitra dagang AS.
“Negara mana pun yang berpihak pada kebijakan anti-Amerika dari BRICS akan dikenakan tarif tambahan sebesar 10%. Tidak akan ada pengecualian terhadap kebijakan ini,” tulis Trump dalam unggahannya di platform Truth Social dikutip dari Bloomberg pada Senin (7/7/2025).
Sebelumnya, Trump juga sempat mengancam akan mengenakan tarif hingga 100% terhadap BRICS jika negara-negara anggota meninggalkan penggunaan dolar AS dalam perdagangan bilateral.
Ancaman tersebut memicu ketertarikan negara-negara BRICS untuk mengembangkan sistem pembayaran lokal dan instrumen keuangan lain guna mendukung aktivitas perdagangan dan investasi di antara mereka.
Meski demikian, sumber Gedung Putih menyatakan pemerintahan Trump belum akan langsung memberlakukan tarif tambahan terhadap BRICS tersebut, namun siap melakukannya jika negara-negara tersebut mengambil kebijakan yang dinilai "anti-Amerika".
Baca Juga
“Garis sudah ditarik. Jika ada keputusan kebijakan yang dinilai anti-Amerika, maka tarif akan diberlakukan,” kata sumber tersebut, yang menolak disebutkan namanya karena tidak berwenang berbicara kepada publik.
Hingga saat ini, belum ada perintah eksekutif yang diterbitkan oleh Gedung Putih.
BRICS merupakan blok yang beranggotakan 11 negara, seperti Brasil, China, Rusia, Afrika Selatan, India, Iran, Mesir, Ethiopia, Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA), dan Indonesia.
Ancaman ini terjadi saat para pemimpin BRICS hadir dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS di Brasil pekan ini. Dalam pertemuan, para negara sepakat melanjutkan pembahasan terkait sistem pembayaran lintas batas untuk perdagangan dan investasi.
Respons BRICS
Merespons ancaman tersebut, Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva mengecam ancaman tarif tambahan yang disampaikan Donald Trump terhadap negara-negara BRICS tersebut.
Komentar Lula menyusul pernyataan serupa dari pemimpin negara anggota BRICS lainnya, yakni Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa. Pernyataan tersebut disampaikan pada hari terakhir pertemuan tingkat tinggi kelompok beranggotakan 10 negara tersebut.
Melansir Bloomberg pada Selasa (8/7/2025) Lula menyebut Trump tidak bertanggung jawab karena menyampaikan ancaman tarif melalui media sosial. Lula juga mengajak para pemimpin dunia untuk mencari cara mengurangi ketergantungan perdagangan internasional pada dolar AS, posisi yang senada dengan aspirasi negara-negara berkembang dalam kelompok BRICS.
Menurut sumber internal, para penasihat Lula sebelumnya telah menyarankan agar sang presiden tidak merespons secara frontal untuk mencegah eskalasi lebih lanjut. Namun, dinamika di hari terakhir KTT mendorong suasana ke arah konfrontasi terbuka.
Sebelumnya, Ramaphosa menjadi pemimpin pertama yang secara terbuka mengkritik Trump. Dalam pernyataannya, dia menyayangkan sikap AS yang mengancam negara-negara BRICS karena dinilai menerapkan kebijakan anti-Amerika.
Ramaphosa mengatakan, ancaman Trump tersebut sangat mengecewakan. Dia menuturkan, ketika BRICS menunjukkan semangat kolektif yang positif, ada pihak lain yang justru melihatnya secara negatif dan ingin menghukum mereka yang berpartisipasi.
"Itu tidak bisa dibenarkan dan tidak seharusnya terjadi," kata Ramaphosa kepada wartawan di Rio de Janeiro, setelah menutup KTT BRICS selama dua hari.
Ramaphosa menegaskan bahwa munculnya berbagai pusat kekuatan baru di dunia seharusnya diapresiasi, bukan dianggap sebagai ancaman.
“Tidak bisa dibenarkan jika kekuasaan dianggap sebagai pembenar. Tidak boleh ada balas dendam dari negara kuat terhadap mereka yang berusaha membawa kebaikan bagi dunia,” ujarnya.