Bisnis.com, JAKARTA – Korea Selatan memasuki babak baru usai Lee Jae-myung terpilih sebagai Presiden dalam pemilihan umum yang digelar Selasa (3/6/2025).
Dalam pidato kemenangannya, Lee bersumpah membawa negara keluar dari kekacauan politik dan membangkitkan kembali perekonomian yang terguncang oleh gelombang proteksionisme global.
Dengan 49,42% suara dari hampir 35 juta pemilih, Lee menaklukkan pesaing konservatifnya, Kim Moon-soo, yang hanya meraih 41,15%. Ini menjadi pemilu presiden dengan tingkat partisipasi tertinggi sejak 1997, menurut data Komisi Pemilihan Nasional.
Pemilu ini digelar menyusul jatuhnya Presiden Yoon Suk Yeol, yang digulingkan akibat deklarasi darurat militer yang menuai kecaman luas dan memicu krisis politik selama berbulan-bulan.
“Pemilu hari ini adalah penghakiman terhadap kudeta dan kegagalan partai penguasa sebelumnya. Tugas pertama saya adalah memastikan tak akan pernah lagi terjadi kudeta bersenjata yang ditujukan kepada rakyat,” tegas Lee dalam pidatonya, seperti dilansir Reuters, Rabu (4/6/2025).
Lee, mantan pengacara hak asasi manusia berusia 61 tahun, langsung dikukuhkan sebagai presiden dan mengambil alih tampuk komando tertinggi negara. Pelantikan formal dalam bentuk singkat digelar pada Rabu pagi waktu setempat di kompleks parlemen.
Baca Juga
Namun masa bulan madu Lee dipastikan tak akan berlangsung lama. Tantangan berat sudah menantinya, yakni memulihkan masyarakat yang terbelah akibat konflik politik, dan menyelamatkan ekonomi ekspor Korea Selatan dari ancaman tarif tinggi yang diberlakukan oleh pemerintahan Presiden AS Donald Trump.
Pemerintahan sementara sebelumnya gagal meredam dampak dari kebijakan dagang agresif Washington, yang mengancam industri otomotif dan baja, tulang punggung ekonomi Korea Selatan.
Centre for Strategic and International Studies (CSIS) menyebut bahwa tugas pertama Lee sebagai presiden adalah menegosiasikan kesepakatan dagang baru dengan AS, yang akan menentukan arah awal pemerintahannya.
Gedung Putih menyambut hasil pemilu sebagai proses yang bebas dan adil, namun tetap menyoroti kekhawatiran terhadap pengaruh China dalam demokrasi global. Meski demikian, hubungan bilateral AS-Korea Selatan disebut tetap “kokoh”.
Lee sendiri mengisyaratkan pendekatan diplomatik yang lebih lunak terhadap China dan Korea Utara. Ia menekankan pentingnya hubungan ekonomi dengan Beijing, seraya menghindari sikap tegas dalam isu sensitif seperti ketegangan di Selat Taiwan.
Di sisi lain, ia menegaskan komitmennya untuk melanjutkan kerja sama dengan Jepang dan mempertahankan aliansi strategis dengan Amerika Serikat sebagai pilar utama diplomasi luar negeri Korea Selatan.
Enam bulan kekacauan pasca-deklarasi darurat militer, termasuk serangkaian persidangan pemberontakan terhadap Yoon dan sejumlah pejabat senior, telah menguras energi politik negeri Ginseng.
Lee berjanji memacu investasi dalam sektor teknologi dan inovasi, serta memperluas dukungan terhadap keluarga kelas menengah dan masyarakat berpenghasilan rendah—sebuah upaya membalikkan arah ekonomi menuju pertumbuhan berkelanjutan.