Bisnis.com, JAKARTA — Badan Pusat Statistik alias BPS memutuskan ubah jadwal rilis data neraca perdagangan Indonesia, dari yang awalnya setiap pertengahan bulan menjadi setiap awal bulan. Artinya, data kinerja ekspor-impor bulanan akan keluar lebih lama dari yang awalnya dua pekan setelah bulan berakhir menjadi empat pekan setelah bulan berakhir.
Plt. Kepala Biro Humas dan Hukum BPS Melly Merlianasari mengklaim perubahan jadwal tersebut merupakan hasil dari evaluasi internal agar kualitas data yang diterima publik bisa meningkatkan.
Melly menjelaskan selama ini data neraca perdagangan yang dirilis BPS Pusat setiap tengah bulan merupakan "angka sementara". Kemudian, BPS Provinsi merilis "angka tetap" pada awal bulan.
BPS melihat masih banyak publik yang belum menyadari bahwa rilis data ekspor-impor yang dilakukan kantor pusat pada pertengahan bulan hanya "angka sementara". Akhirnya, BPS memutuskan untuk merilis "angka tetap" ekspor-impor secara serentak baik di tingkat nasional maupun provinsi pada awal bulan.
"Dengan perubahan ini, data bisa lebih konsisten bila dirilis angka tetap, baik di nasional maupun provinsi," ujar Melly kepada Bisnis, Kamis (15/5/2025).
Dia tidak menampik bahwa sebelumnya BPS juga sempat merilis data ekspor-impor pada awal bulan. Sejak Februari 2015, rilis awal bulan tersebut dipercepat menjadi tengah bulan.
Hanya saja, Melly mengungkapkan bahwa dahulu baik rilis awal dan tengah bulan masih merupakan "angka sementara". Perbedaannya, kini penundaan rilis data ekspor-impor ke awal bulan sudah merupakan "angka tetap". "Semua murni untuk peningkatan kualitas data bagi para pengguna," jelasnya.
Baca Juga : Rilis Data Ekspor Impor Ditunda, Konsensus Ramal Neraca Dagang Surplus 60 Bulan Beruntun |
---|
Sementara itu, Ekonom Universitas Andalas Syafruddin Karimi mengkritisi langkah BPS tersebut. Dia menilai keputusan BPS hanya akan menciptakan ruang ketidakpastian yang luas di kalangan investor, pelaku usaha, dan analis pasar.
"Ketika negara lain berupaya meningkatkan keterbukaan dan kecepatan informasi ekonomi, Indonesia justru mengambil langkah mundur yang bertentangan dengan prinsip perdagangan modern yang berbasis transparansi dan prediktabilitas," ujar Syafruddin, Kamis (15/5/2025).
Menurutnya, perubahan jadwal rilis data neraca perdagangan tersebut tidak bisa dilihat hanya dari sisi teknis, melainkan turut mencerminkan mentalitas birokrasi yang enggan diawasi dan tidak menempatkan kebutuhan pasar sebagai prioritas.
Syafruddin mengingatkan bahwa ekspor dan impor merupakan menjadi fondasi neraca perdagangan dan pertumbuhan ekonomi. Oleh sebab itu, sambungnya, jika ada ketertutupan data maka hanya akan memperkuat persepsi internasional bahwa Indonesia tidak serius membuka diri terhadap integrasi global.
Dia menggarisbawahi jika Indonesia ingin keluar dari stigma sebagai negara paling proteksionistik maka konsistensi, keterbukaan, dan akuntabilitas dalam penyajian data publik harus menjadi langkah awal yang tidak bisa ditawar.
"Transparansi bukan kelemahan, tetapi fondasi kepercayaan. Ketika data disembunyikan atau ditunda tanpa alasan teknis yang meyakinkan, maka keraguan pasar akan berubah menjadi keyakinan bahwa ada yang sedang disembunyikan," katanya.
Syafruddin menegaskan ketidakpastian yang dirasakan pelaku pasar akan lebih merugikan perekonomian daripada angka defisit neraca perdagangan itu sendiri.