Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pemerintah Ingin Pungut Pajak Netflix, Facebook, dkk., Pakar Ungkap Sederet Kesulitannya

Aspek regulasi menjadi salah satu kendala tersendiri dalam memungut pajak penghasilan atau PPh badan bagi korporasi raksasa seperti Netflix, Meta, dkk.
Gedung Netflix Vine Studios di California, Amerika Serikat pada Kamis (3/10/2024). / Bloomberg-Kyle Grillot
Gedung Netflix Vine Studios di California, Amerika Serikat pada Kamis (3/10/2024). / Bloomberg-Kyle Grillot

Bisnis.com, JAKARTA — Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan atau Ditjen Pajak meninjau potensi pemungutan PPh Badan atau pajak penghasilan perusahaan layanan digital yang tidak memiliki kehadiran fisik di Indonesia. Hanya saja, sejumlah aturan masih menghalangi upaya tersebut.

Pengajar Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia Prianto Budi Saptono menjelaskan pemungutan pajak hanya bisa dilakukan berdasarkan asas legalitas alias berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Dalam hal pemungutan PPh Badan, sambungnya, diatur dalam UU PPh (UU 7/1983, yang perubah terakhirnya di UU 7/2021). Prianto menjelaskan UU PPh masih menerapkan persyaratan kehadiran fisik dalam pemungutan PPh Badan perusahaan layanan digital multinasional atau digital multinational corporation (MNC digital).

"Aturan tentang kehadiran fisik dari kegiatan MNC digital di Indonesia merujuk pada Pasal 2 ayat (5) huruf p UU PPh," ungkapnya kepada Bisnis, dikutip pada Minggu (11/5/2025).

Berdasarkan ketentuan tersebut, penghasilan perusahaan layanan digital multinasional dapat dikenai pajak di Indonesia apabila memiliki kehadiran fisik berupa komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha di Indonesia melalui internet.

Menurut Prianto, aturan tersebut merupakan ketentuan umum. Dia menjelaskan, turut terdapat ketentuan khusus dalam UU PPh yaitu Pasal 32A UU PPh yang mengatur tentang tax treaty atau P3B (Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda).

Pasal 32A UU PPh menyatakan pemerintah berwenang melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka pencegahan pembekalan pajak dan penghindaran pajak berganda.

Ketua pengawas Ikatan Konsultan Pajak Indonesia itu pun menjelaskan jika aturan khusus dan umum dalam UU PPh bertentangan maka pemerintah harus mendahulukan aturan yang bersifat lex specialis (ketentuan khusus), yang dalam konteks ini adalah aturan P3B daripada aturan kehadiran fisik.

"Untuk itu, UU PPh perlu direvisi ketika P3B sudah mengalami revisi sesuai kesepakatan bersama antara Indonesia dengan negara lain, termasuk AS," jelas direktur eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute itu.

Artinya, jika pemerintah berhasil mencapai kesepakatan bilateral dengan negara asal perusahaan layanan digital multinasional terkait perjanjian penghindaran pajak berganda maka aturan terkait kehadiran fisik dalam pemungutan PPh Badan bisa diabaikan bahkan aturannya perlu direvisi.

Contohnya, jika Indonesia dan AS bisa mencapai kesepakatan bilateral terkait perjanjian penghindaran pajak berganda maka Direktorat Jenderal Pajak bisa memungut PPh Badan perusahaan digital multinasional asal AS yang tidak memiliki kantor fisik di Indonesia seperti Netflix hingga Meta (Facebook, Instagram, WhatsApp).

DJP Incar Pajak Digital

Sebelumnya, Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo mengaku akan meninjau potensi untuk memungut PPh Badan dari perusahaan layanan digital multinasional seperti Netflix maupun Meta.

Sebagai informasi, perusahaan digital raksasa seperti Netflix maupun Meta memiliki banyak pengguna di Indonesia. Artinya, korporasi tersebut meraup banyak penghasilan dari Indonesia.

Masalahnya, Netflix maupun Meta tidak mempunyai kantor fisik di Indonesia sehingga pemerintah tidak bisa menarik PPh Badan mereka. Selama ini, pemerintah hanya bisa memajaki Netflix maupun Meta lewat Pajak Pertambahan Nilai Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPN PMSE).

"Ada isu mengenai transaksi digital di dalam negeri dan juga antar negara, ini yang mungkin menjadi concern [perhatian] pada waktu kita nanti mendudukkan akan seperti apa kita lakukan pemajakan. Ini coba kami terus review [tinjau]," ujar Suryo dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR, Rabu (7/5/2025).

Dia mengakui bahwa Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) sudah mengusulkan penerapan dua pilar pajak global pada 2021, agar mengurangi praktik pengemplangan pajak global dan menciptakan keadilan perpajakan global di era digital.

Caranya, lewat dua pilar. Pilar 1 mengharuskan alokasi sebagian hak pemajakan atas penghasilan perusahaan multinasional, terkhusus perusahaan digital besar (seperti Netflix dan Meta), kepada negara-negara di mana mereka memiliki konsumen atau pengguna—meski pun tak memiliki kantor di negara tersebut.

Sementara Pilar 2 mengharuskan tarif pajak minimum global sebesar 15% bagi perusahaan multinasional dengan pendapatan global tahunan di atas 750 juta euro. Dengan demikian, persaingan pajak antarnegara (race to the bottom) untuk menetapkan tarif pajak rendah untuk menarik investasi bisa berkurang.

Per 1 Januari 2025, pajak minimum global 15% berlaku di Indonesia sesuai amanat Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 136/2024. Memang negara yang tidak menerapkan Pilar 2 akan rugi karena ada backstop mechanism: jika suatu negara tidak ikut ketentuan pajak minimum global maka hak pemajakannya akan menjadi hak negara lain.

Hanya saja, mekanisme serupa tidak berlaku untuk Pilar 1. Permasalahan makin pelik usai Presiden AS Donald Trump menolak terapkan Pilar 1, padahal AS merupakan lokasi banyak induk utama perusahaan grup multinasional.

Akhirnya, upaya pemerintah Indonesia untuk memajaki perusahaan digital macam Netflix hingga Meta akan menjadi semakin sulit.

Ketua Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun menyatakan ekonomi digital memang menjadi isu internasional. Padahal, sambungnya, banyak masyarakat Indonesia 'membayar' layanan perusahaan digital multinasional namun pemerintah tidak bisa menarik PPh Badan perusahaan-perusahaan itu.

"Pasti semua korporasi akan berusaha menghindar pajak, dengan strategi dan metodologi yang mereka pakai. Tetapi kita kalau mengetahui ada pembayaran dan kita bisa menarik pajak itu kan harus kita kuatkan. Jangan sampai kita memperlemah diri sendiri dalam rangka memungut pajak itu," kata Misbakhun pada kesempatan yang sama.

Oleh sebab itu, legislator Fraksi Partai Golkar itu menyatakan Komisi XI DPR siap membantu apabila otoritas pajak memerlukan bantuan politik seperti pembentukan aturan yang memungkinkan pemungutan pajak perusahaan digital multinasional yang tak memiliki kantor fisik di Indonesia.

"Kita ingin memperkuat kedaulatan. Kalau memang butuh sifatnya yang mengandung aturan di mana butuh dikuatkan, makanya kan saya tawarkan tadi mereka membutuhkan apa? Instrumen aturan apa yamg dibutuhkan, gitu," ungkap Misbakhun.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper