Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Perdagangan (Kemendag) akan mengenakan tarif pungutan ekspor (PE) kelapa yang tengah disusun di dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK).
Direktur Ekspor Produk Pertanian dan Kehutanan Kemendag Farid Amir mengatakan saat ini Permendag dan PMK terkait PE tengah dalam tahap penyusunan. Artinya, saat ini belum ada tarif PE kelapa.
“Kelapa akan dikenakan tarif pungutan ekspor. Saat ini Permendag dan PMK yang terkait sebagai perangkat hukum pengenaan PE sedang dalam proses penyusunan,” ujar Farid kepada Bisnis, Selasa (29/4/2025).
Farid menambahkan, selain kelapa sawit, pemerintah telah menambahkan kakao dan kelapa sebagai komoditas yang memiliki dana perkebunan, atau dana yang dihimpun Badan Pengelola Dana Perkebunan yang bertujuan untuk mendorong pengembangan perkebunan berkelanjutan.
Hal ini berdasarkan Peraturan Presiden 132 Tahun 2024 tentang Pengelolaan Dana Perkebunan.
“Adapun sumber dananya, salah satunya berasal dari pelaku usaha perkebunan melalui pungutan ekspor dan iuran,” ungkapnya.
Baca Juga
Sebelumnya, Ketua Harian Himpunan Industri Pengolahan Kelapa Indonesia (Hipki) Rudy Handiwidjaja memandang pemerintah perlu mengenakan pungutan ekspor (PE) kelapa, di samping memberlakukan moratorium ekspor kelapa 6 bulan. Pasalnya, Rudy menyebut bahwa selama ini tidak dikenakan pajak.
Menurutnya, jika pemerintah tidak bisa memberikan moratorium ekspor kelapa bulat, Hipki tetap berharap pemerintah bisa memberikan kebijakan terkait pungutan ekspor kelapa di kisaran 100–200%.
“Pajak ekspor mungkin ekspornya 100%—200% supaya bisa menghambat laju ekspor kelapa,” ujar Rudy saat dihubungi Bisnis.
Terkait kondisi di dalam negeri, Rudy menyampaikan bahwa komoditas ini tengah dalam krisis dan ditambah dengan ekspor yang melonjak ke China. Dia menjelaskan, kurangnya bahan baku ini bukan hanya terjadi di konsumsi rumah tangga alias pasar tradisional, melainkan juga untuk industri.
Alhasil, harga kelapa di pasar tradisional kini dibanderol di kisaran Rp25.000–Rp30.000 per butir. Di samping harganya yang melonjak, komoditas ini juga sulit ditemukan lantaran produksi kelapa di industri yang hanya mencapai 40%—50%.
“Bahkan ada industri kita, anggota dari Hipki itu yang sudah tidak jalan sama sekali. Sudah tidak jalan sama sekali karena memang kekurangan bahan baku,” ungkapnya.
Rudy menjelaskan, kondisi ini terjadi lantaran dipengaruhi dua faktor. Pertama, imbas cuaca tahun lalu, di mana terjadi El Nino yang menyebabkan produksi kelapa di tingkat petani hanya mencapai 40%.
“Ditambah lagi karena semua negara-negara itu kekurangan kelapa dan sudah tidak boleh ekspor, hanya Indonesia yang boleh ekspor, sehingga negara-negara dari luar itu membeli kelapa dari Indonesia,” pungkasnya.