Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom menyebut ekspor produk yang memiliki nilai tambah bisa membuat neraca perdagangan Indonesia—China mencatatkan surplus.
Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho menuturkan pemerintah harus memberikan nilai tambah terhadap produk yang akan diekspor ke China. Dengan cara ini, kata dia, akan membalikkan kondisi defisit neraca perdagangan menjadi surplus.
“Kalau kita berbicara mengenai ekspor, mungkin kita tidak mengurangi ekspornya, kecuali kita dorong supaya memberikan nilai tambah dari ekspor-ekspor komoditas yang kita kirimkan ke China,” kata Andry kepada Bisnis, Rabu (23/4/2025).
Namun, Andry juga mengingatkan agar pemerintah berhati-hati dalam melakukan keran importasi bahan mentah industri, seperti besi dan baja. Menurutnya, pemerintah bisa mengurangi impor besi dan baja dari China, lantaran Indonesia juga memproduksi di dalam negeri.
Di samping itu, lanjut Andry, pemerintah juga bisa memproduksi plastik di dalam negeri lantaran ada industri petrokimia.
“Banyak di antaranya juga kalau saya melihat dari sisi produk-produk plastik ini bisa diproduksi di Indonesia. Tetapi memang regulasi kita belum memberikan eksklusifitas terhadap industri domestik,” tuturnya.
Baca Juga
Pasalnya, sambung dia, Indonesia mengimpor plastik seperti Polyethylene Terephthalate (PET) dari China dalam jumlah yang besar. Padahal, Indonesia juga memiliki industri petrokimia.
“Kita punya industri petrokimia yang cukup besar tapi kok impor PET-nya terus meningkat. Bahkan di tahun 2024 peningkatannya jauh lebih besar daripada sebelumnya,” ungkapnya.
Untuk itu, Andry menilai Indonesia bisa membalikkan keadaan dengan mencatatkan surplus perdagangan dengan China juga pemerintah memperkuat industri domestik di dalam negeri, terutama besi baja dan petrokimia.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), China yang merupakan negara utama tujuan ekspor Indonesia justru secara perdagangan menjadi negara penyumbang defisit terbesar, yakni US$1,11 miliar pada Maret 2025. Pada periode itu, mesin dan peralatan mekanis serta bagiannya (HS 84) menyumbang defisit terdalam.
Secara keseluruhan, BPS mengungkap neraca perdagangan mencatat surplus senilai US$4,33 miliar pada Maret 2025. Nilai surplusnya naik US$1,23 miliar secara bulanan. Alhasil, Indonesia mampu mencatatkan surplus 59 bulan beruntun sejak Mei 2020.
Adapun, surplus ditopang komoditas nonmigas dengan surplus perdagangan senilai US$6 miliar. Sejumlah komoditas pendorong surplus di antaranya lemak dan hewan minyak nabati, bahan bakan mineral, serta besi dan baja.
Pada saat yang sama, neraca perdagangan migas defisit US$1,67 miliar dengan komoditas penyumbang defisit adalah hasil minyak dan minyak mentah.
Selain itu, surplus juga didorong oleh kinerja ekspor Indonesia yang tumbuh 3,16% secara tahunan (year-on-year/yoy) menjadi US$23,25 miliar pada Maret 2025. Sementara itu, total nilai impor mencapai US$18,92 miliar atau naik 5,34% yoy.