Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Daftar Keluhan AS ke Bank Indonesia dan OJK, Dianggap Ganjal Perdagangan

AS tidak hanya komplain soal QRIS dan GPN, tetapi juga mencakup kepemilikan investor asing di bank dan operator infrastruktur sistem pembayaran.
Logo Bank Indonesia (BI) di kantor pusat Bank Indonesia, Jakarta pada Kamis (23/11/2023). / Bloomberg-Rosa Panggabean
Logo Bank Indonesia (BI) di kantor pusat Bank Indonesia, Jakarta pada Kamis (23/11/2023). / Bloomberg-Rosa Panggabean

Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah Amerika Serikat melayangkan sejumlah keluhan terkait sistem pembayaran di Indonesia yang dinilai menjadi kontributor penghambat perdagangan kedua negara. 

Keluhan tersebut tertulis dalam National Trade Estimate (NTE) Report on Foreign Trade Barriers 2025, yang terbit pada 31 Maret—hanya dua hari sebelum Trump mengumumkan tarif resiprokal. 

Hal yang menjadi sorotan, yakni terkait Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) dan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN). 

Ternyata, bukan hanya itu yang menjadi sorotan. 

Pertama, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 56/03/2016 membatasi kepemilikan bank tidak lebih dari 40% oleh satu pemegang saham, yang berlaku untuk pemegang saham asing dan domestik. 

 US Trade Representative (USTR) menilai dalam kasus-kasus tertentu, OJK dapat memberikan pengecualian terhadap aturan umum ini. Berdasarkan Peraturan OJK Nomor 12/POJK.03/2021, OJK meningkatkan batas kepemilikan asing untuk bank umum menjadi 99% dengan penilaian terlebih dahulu dari unit pengawas perbankan di OJK. 

Kedua, USTR melihat adanya hambatan dari kebijakan Bank Indonesia (BI) membatasi kepemilikan asing di perusahaan pemberi pinjaman swasta sebesar 49% berdasarkan Surat Edaran BI No. 15/49/DPKL. 

Berdasarkan Peraturan BI No. 18/40/PBI/2016 tentang penyelenggaraan kegiatan pemrosesan transaksi pembayaran, BI membatasi kepemilikan asing di perusahaan pembayaran hingga 20% (namun mengecualikan investasi yang sudah ada yang melebihi batasan ekuitas asing ini).

Ketiga, Peraturan BI No. 19/08/2017 tentang Gerbang Pembayaran Nasional mewajibkan semua transaksi debit dan kredit ritel domestik untuk diproses melalui lembaga switching GPN yang berlokasi di Indonesia dan memiliki lisensi dari BI. 

Peraturan ini memberlakukan batasan ekuitas asing sebesar 20% bagi perusahaan yang ingin mendapatkan lisensi switching untuk berpartisipasi dalam GPN, dan melarang penyediaan layanan pembayaran elektronik lintas batas untuk transaksi kartu debit dan kartu kredit ritel domestik. Peraturan BI No. 19/10/PADG/2017 mengamanatkan bahwa perusahaan asing harus membentuk perjanjian kemitraan dengan penyelenggara GPN berlisensi di Indonesia untuk memproses transaksi ritel domestik melalui GPN. 

“BI harus menyetujui perjanjian tersebut, dan peraturan tersebut membuat persetujuan bergantung pada perusahaan mitra asing yang mendukung pengembangan industri dalam negeri, termasuk melalui transfer teknologi,” tulis USTR dalam NTE. 

Keempat, sejak 2019 Indonesia memulai implementasi QRIS untuk semua pembayaran yang menggunakan kode QR di Indonesia. 

AS merasa bahwa perusahaan-perusahaan AS, termasuk penyedia pembayaran dan bank, menyatakan keprihatinan bahwa selama proses pembuatan kebijakan, para pemangku kepentingan internasional tidak diberitahu tentang sifat dari potensi perubahan atau diberi kesempatan untuk menjelaskan pandangan mereka tentang sistem semacam itu. 

Termasuk bagaimana sistem tersebut dapat dirancang untuk berinteraksi dengan sistem pembayaran yang ada. 

Kelima, Indonesia menerbitkan Peraturan BI No. 22/2020, terkait implementasi Cetak Biru Sistem Pembayaran BI 2025. 

Peraturan payung ini menetapkan kategorisasi kegiatan sistem pembayaran berbasis risiko dan sistem perizinan. Peraturan ini menerapkan batas kepemilikan asing sebesar 85% untuk operator layanan pembayaran non-bank, yang juga dikenal sebagai perusahaan pembayaran front-end, tetapi investor asing hanya boleh memiliki 49% saham dengan hak suara. 

Batas kepemilikan asing untuk operator infrastruktur sistem pembayaran, atau perusahaan back-end, tetap sebesar 20%. Para pemangku kepentingan telah menyatakan keprihatinan mereka mengenai kurangnya konsultasi dengan BI sebelum mengeluarkan peraturan.

Keenam, pada Mei 2023, BI mengamanatkan agar kartu kredit pemerintah diproses melalui GPN dan mewajibkan penggunaan dan penerbitan kartu kredit pemerintah daerah. 

“Perusahaan-perusahaan pembayaran AS khawatir bahwa kebijakan baru ini akan membatasi akses terhadap penggunaan opsi pembayaran elektronik AS,” tulis USTR. 

 Sementara menurut Deputi Gubernur Senior BI Destry Damayanti, bahwa sistem pembayaran asal AS, yakni Visa maupun Mastercard masih mendominasi pembayaran di Indonesia, meski Indonesia memiliki QRIS maupun Gerbang Pembayaran Nasional (GPN). 

“Sekarang pun kartu kredit yang selalu diributin, Visa, Mastercard, masih dominan, jadi itu nggak ada masalah sebenarnya,” tuturnya. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper