Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom meyakini Bank Indonesia dapat mengoptimalkan cadangan devisa Indonesia yang mencapai rekor tertinggi sepanjang masa untuk memperkuat nilai tukar rupiah hingga level Rp16.400 per dolar AS.
Sebelumnya, Bank Indonesia mencatat cadangan devisa atau cadev mencapai nilai tertinggi sepanjang masa yaitu US$157,1 miliar per Maret 2025.
Ekonom senior Samuel Sekuritas Indonesia mendorong Bank Indonesia melakukan intervensi moneter di pasar valuta asing (valas) untuk perkuat rupiah. Caranya, dengan menggunakan cadev untuk mengambil sejumlah dolar dari pasar dan menyediakan rupiah.
Akibatnya, pasokan dolar menurun sementara permintaan untuk rupiah meningkat sehingga cenderung mendorong nilai tukar rupiah naik.
Fithra menjelaskan, berdasarkan analisis impuls response function (IFR), setiap suntikan cadangan devisa senilai US$1 miliar berpotensi mengangkat nilai rupiah sekitar 100 poin.
"Untuk mencapai apresiasi 400 poin ke level target Rp16.400, BI perlu menyuntikkan US$4 miliar ke pasar valas," ungkap Fithra dalam keterangannya, Senin (14/4/2025).
Baca Juga
Dia menyarankan strategi dua tahap. Tahap pertama pada April, BI menyuntik langsung sebesar US$2 miliar ke pasar valas sehingga memberi sinyal kuat bagi pasar, yang akan menopang ekspektasi dan mengurangi tekanan spekulatif.
Tahap kedua pada Mei, BI melakukan suntikan lanjutan sebesar US$ 2 miliar—bergantung pada perkembangan pasar yang diamati, indikator ekonomi makro, dan perilaku arus modal.
Kendati demikian, dia tidak menampik bahwa pasar keuangan global semakin tidak pasti sehingga meningkatkan tekanan depresiasi ke rupiah. Selain itu, volatilitas harga komoditas juga dapat memperlebar defisit transaksi berjalan Indonesia.
"Sehingga dapat memerlukan intervensi yang lebih agresif yang dapat memperlambat akumulasi cadangan di masa mendatang," tutup Fithra.
Sebelumnya, Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia (BI) Ramdan Denny Prakoso menyampaikan kenaikan posisi cadangan devisa hingga US$157,1 miliar per Maret 2025 itu bersumber dari penerimaan pajak dan jasa, serta penarikan pinjaman luar negeri pemerintah di tengah kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah.
Ramdan menjelaskan penarikan pinjaman luar negeri tersebut merupakan respons Bank Indonesia dalam menghadapi ketidakpastian pasar keuangan global yang tetap tinggi.
"Posisi cadangan devisa pada akhir Maret 2025 setara dengan pembiayaan 6,7 bulan impor atau 6,5 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor," ujar Ramdan dalam keterangannya, Senin (14/4/2025).
BI, sambungnya, menilai cadangan devisa tersebut mampu mendukung ketahanan sektor eksternal serta menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan.
Oleh sebab itu, cadangan devisa itu diyakini memadai untuk mendukung ketahanan sektor eksternal sejalan dengan tetap terjaganya prospek ekspor, neraca transaksi modal, dan finansial yang diprakirakan tetap mencatatkan surplus.
Rupiah Menguat
Sementara itu, nilai tukar rupiah ditutup menguat 9 poin atau 0,05% ke level Rp16.786,5 per dolar AS pada Senin (14/4/2025). Adapun indeks dolar AS melemah 0,60% menuju 99,50.
Pengamat mata uang Ibrahim Assuaibi menyatakan selera risiko mulai membaik setelah Gedung Putih mengonfirmasi bahwa barang elektronik tidak akan dimasukkan dalam tarif 145% terhadap China.
“Langkah tersebut menawarkan sedikit kelegaan bagi perusahaan-perusahaan besar AS dengan eksposur impor yang besar ke China,” ujar Ibrahim dalam keterangan tertulis pada Senin (14/4/2025).
Meski demikian, Presiden AS Donald Trump menyatakan impor elektronik masih akan menghadapi pungutan sebesar 20%. Trump juga sedang bersiap untuk segera mengumumkan tarif impor terpisah untuk barang elektronik.
Dari dalam negeri, Ibrahim memandang Indonesia harus bersiap menghadapi dinamika global akibat ketegangan perdagangan antara AS dan China.
“China yang kini menghadapi tekanan tarif dari AS, akan cenderung memperkuat hubungannya dengan kawasan ASEAN. Dalam konteks ini, Indonesia memiliki peluang strategis untuk menjadi mitra dialog yang kuat,” kata Ibrahim.
Salah satu skenario yang harus diwaspadai adalah masuknya barang-barang ekspor China ke pasar Indonesia sebagai dampak dari pembatasan pasar AS. Hal ini bisa terjadi jika sistem pengawasan perdagangan Indonesia belum siap atau longgar.
Di samping itu, Ibrahim menilai langkah-langkah diplomasi yang mulai ditempuh oleh Presiden Prabowo Subianto serta pernyataan dari para menteri menunjukkan sinyal positif dalam merespons perubahan global.