Bisnis.com, JAKARTA - Sejatinya, Hari Raya Idulfitri atau Lebaran menjadi momentum kebahagiaan bagi umat Islam. Pada momen ini setiap orang bisa berkumpul dengan sanak famili dan handai taulan lintas generasi.
Bahkan, untuk merasakan kenikmatan momen ini, setiap orang, baik muslim atau non-muslim rela berjerih payah melakukan mobilisasi spiritual berupa mudik massal ke kampung halaman.
Di samping itu, sebagai perayaan musiman, lebaran menjadi salah satu pendorong utama terciptanya pertumbuhan ekonomi yang sangat signifikan. Hal ini ditandai dengan meningkatnya konsumsi masyarakat seiring tingginya permintaan barang dan jasa yang menopang suasana lebaran.
Bahkan, mudik massal yang dilakukan oleh setiap orang menjadi ceruk potensial yang mampu menggerakkan perputaran ekonomi hingga ratusan triliun. Pengalaman lebaran di tahun-tahun sebelumnya, menjadi cerminan bahwa nilai ekonomi yang tumbuh pada 2024 mencapai Rp157,3 triliun.
Namun, nuansa lebaran yang di tahun sebelumnya mampu menggerakkan perekonomian masyarakat secara masif, tampaknya lebaran di tahun ini cenderung mengalami disrupsi sosial ekonomi dan menunjukkan kondisi sebaliknya. Salah satu penandanya adalah, menurunnya jumlah pemudik lebaran 2025 yang diperkirakan mencapai 52 % atau sebanyak 146, 48 juta dari total penduduk Indonesia.
Penurunan jumlah pemudik lebaran 2025 sebanyak 24%—sebagaimana dilansir dalam Hasil Survei Potensi Pergerakan Nasional oleh Kementrian Perhubungan—ini akan berdampak signifikan terhadap perputaran uang saat lebaran. Di mana, dibanding lebaran 2024 yang perputaran uangnya bisa mencapai Rp 157.3 triliun, diperkiran akan mengalami penurunan hingga 12,28%.
Baca Juga
FAKTOR PENYEBAB
Kesenjangan historis yang melingkupi rekam jejak Lebaran tahun 2025 dengan tahun sebelumnya, di mana lebaran selama ini telah ditasbihkan sebagai pendorong tumbuhnya perekonomian masyarakat dan menjadi sebuah pesona sosio-kultural masyarakat Indonesia, kemungkinan besar akan memudarkan magnitude lebaran.
Minimnya partisipasi masyarakat untuk melakukan mudik atau mobilitas spiritual ke berbagai kampung halamannya di masa lebaran, dapat menurunkan daya kultur lebaran sebagai ajang silaturahmi lintas generasi dan lintas kelompok yang berlangsung secara sporadis dan masif. Sebab, lebaran bisa dikatakan sebagai penentu utama tergeraknya setiap orang bisa saling berkunjung dan bertemu sanak saudara, handai taulan, tetangga dan kerabat lainnya yang selama ini terpisah oleh jarak dan tempat. Di luar lebaran, sangat kecil kemungkinannya setiap orang akan saling berkunjung dengan suasana hati yang tulus tanpa pretensi dan tendensi.
Oleh karena itu, ketika Lebaran 2025 mengalami penurunan jumlah pemudik, tentu tidak hanya berdampak pada penyedia layanan transportasi maupun penunjang perjalanan lainnya. Akan tetapi, titik nadir mobilitas spiritual ini akan berdampak secara berantai terhadap aspek lainnya. Kondisi kerentanan sosial ekonomi yang kemungkinan melingkupi suasana lebaran tahun 2025, tentu tidak terjadi dengan sendirinya. Akan tetapi, ada berbagai faktor yang menyebabkan terjadinya disrupsi yang mengitari sosial ekonomi lebaran. Salah satunya adalah lemahnya perputaran uang yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Dalam kaitan ini, mengadaptasi data Infobank News.com (21/3/2025), setidaknya ada empat faktor yang patut direfleksikan sebagai penyebab menurunnya perputaran uang pada Lebaran 2025.
Pertama, secara waktu, hari raya Idulfitri tahun ini berdekatan dengan banyak momentum liburan. Energi dan kapasitas ekonomi masyarakat yang telah dialokasikan pada kegiatan liburan tahun baru 2025, nyaris tak berlebih ketika berhadapan dengan liburan Idulfitri yang jatuh pada akhir Maret. Sebagian masyarakat yang telah mencurahkan waktu keluarganya (family time) di awal 2025 di kampung halaman, tampak mengalami “kejenuhan ekonomi” bila harus melakukan mudik dengan waktu yang terlalu dekat.
Kedua, kebijakan efisiensi yang diambil pemerintah turut memengaruhi cara pandang masyarakat untuk melakukan penghematan. Terlebih lagi dalam beberapa bulan ke depan, akan memasuki tahun ajaran baru, di mana tuntutan pembayaran daftar ulang sekolah atau uang masuk sekolah tidak bisa dihindari. Dampaknya, mudik lebaran ke kampung halaman tidak menjadi pilihan liburan. Terlebih lagi, ketika mudik lebaran ada banyak konsekuensi ekonomi yang terkadang dilakukan secara tak terkendali yang berpotensi menguras uang tabungan.
Ketiga, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang dilakukan oleh berbagai perusahaan, baik di lingkup industri, perhotelan, Ritel, dan beragam jenis Usaha lainnya, seakan “memutus” urat nadi ekonomi masyarakat. Kompetensi dan kemampuan bakat yang mereka miliki dan selama ini sudah dicurahkan sepenuhnya di berbagai perusahaan tempat mereka meniti karier hidupnya, nyaris mengalami kebuntuan ketika harus mengalihkan ke jenis usaha yang baru. Di tengah kerentanan psikologis ini, tentu masyarakat yang terdampak PHK akan berpikir ulang untuk membelanjakan uangnya untuk kegiatan ritual keagamaan seperti mudik lebaran.
Keempat, lemahnya daya beli masyarakat yang disebabkan minimnya pendapatan dan ketidakjelasan pekerjaan akibat pemutusan kerja maupun hilangnya pekerjaan sangat berdampak para lemahnya perputaran uang. Pada titik ini, Lebaran yang selama ini menjadi momentum perputaran uang paling strategis dan menjadi penyanggah euforia ekonomi masyarakat yang memberikan pendapatan tinggi walaupun bersifat sementara, seakan kehilangan “magis” keberuntungannya.
Meskupun demikian, keempat faktor yang kemungkinan mendisrupsi bangunan sosial ekonomi Lebaran 2025 bukan berarti dapat meruntuhkan ekosistem Lebaran lainnya. Fitrah lebaran sebagai momen saling bermaafan harus tetap ditegakkan walaupun via online. Dengan cara ini, setiap kita akan saling introspeksi untuk memperbaiki diri agar tampil sebagai pribadi Indonesia yang lebih baik dan tetap bersemangat.