Bisnis.com, JAKARTA - Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) angkat bicara terkait dengan kebijakan pembatasan ekspor limbah pabrik kelapa sawit (Palm Oil Mill Effluent/POME), residu minyak sawit asam tinggi (High Acid Palm Oil Residue/HAPOR), dan minyak jelantah (Used Cooking Oil/UCO).
kebijakan tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 2/2025 tentang Ketentuan Ekspor Produk Turunan Kelapa Sawit bertujuan untuk memastikan ketersediaan bahan baku minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) bagi industri minyak goreng dan mendukung implementasi B40.
Ketua Gapki Eddy Martono mengusulkan agar pemerintah menyamaratakan bea keluar (BK) POME, HAPOR, dan UCO dengan bea keluar minyak kelapa sawit (CPO).
“Sebaiknya disamakan saja tarif dengan ekspor CPO,” kata Eddy kepada Bisnis, dikutip Senin (13/1/2025).
Eddy menuturkan, saat ini bea keluar untuk CPO mencapai US$178 per metrik ton dengan pungutan ekspor (PE) sebesar US$80 per metrik ton. Dengan demikian, totalnya mencapai US$258 per metrik ton.
Sementara, bea keluar untuk kategori limbah (POME) ditetapkan sebesar US$12 per metrik ton dan pungutan ekspor sebesar US$80 per metrik ton sehingga total menjadi US$92 per metrik ton.
Baca Juga
Menteri Perdagangan (Mendag) Budi Santoso resmi membatasi ekspor POME, HAPOR, dan UCO mulai 8 Januari 2025. Kebijakan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No.2/2025 tentang Ketentuan Ekspor Produk Turunan Kelapa Sawit
Adapun, tujuan diterbitkannya regulasi ini adalah untuk memastikan ketersediaan bahan baku minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) bagi industri minyak goreng dan mendukung implementasi B40.
Berdasarkan data Kementerian Perdagangan (Kemendag), ekspor POME dan HAPOR mencapai 3,45 juta ton pada Januari—Oktober 2024. Volume ekspor POME dan HAPOR pada periode ini jauh lebih besar dibanding CPO, yang tercatat hanya sebesar 2,70 juta ton. Ekspor POME dan HAPOR pada 2023 mencapai 4,87 juta ton atau lebih besar dibandingkan CPO yang tercatat sekitar 3,60 juta ton.
Sementara itu dalam lima tahun terakhir, Kemendag mencatat ekspor POME dan HAPOR tumbuh 20,74%, sedangkan CPO turun rata-rata sebesar 19,54% pada periode yang sama.
Merujuk data tersebut, Budi menilai bahwa ekspor POME dan HAPOR melebihi kapasitas wajar yang seharusnya atau hanya sekitar 300.000 ton.
Menurutnya, hal ini menjustifikasi bahwa POME dan HAPOR yang diekspor bukan yang murni dari residu atau sisa hasil olahan CPO saja, tetapi juga merupakan pencampuran CPO dengan POME atau HAPOR asli.
Dia memperkirakan, volume ekspor POME dan HAPOR dapat terus meningkat di masa mendatang. Jika kondisi ini terus terjadi, hal ini kata Budi, akan mengkhawatirkan bagi ketersediaan CPO sebagai bahan baku industri dalam negeri.
Selain itu, meningkatnya ekspor POME dan HAPOR juga dapat dipicu oleh pengolahan dari Tandan Buah Segar (TBS) yang dibusukkan langsung menjadi POME dan HAPOR.
Menurutnya, kondisi tersebut mengarah pada banyaknya TBS yang dialihkan untuk diolah oleh Pabrik Kelapa Sawit (PKS) atau dikenal sebagai PKS berondolan.
“Hal tersebut mengakibatkan PKS konvensional kesulitan mendapatkan TBS,” pungkasnya.