Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pengusaha Keramik Ketar-Ketir Kelanjutan HGBT di 2025 Tak Kunjung Diputuskan

Asaki mengungkapkan kekhawatiran akibat belum adanya kepastian soal kelanjutan harga gas bumi tertentu (HGBT) setelah berakhir pada 31 Desember 2024.
Karyawan mengawasi mesin proses pembuat keramik di pabrik milik PT Arwana Citramulia Tbk di Pasar Kemis, Tanggerang. Bisnis/Nurul Hidayat
Karyawan mengawasi mesin proses pembuat keramik di pabrik milik PT Arwana Citramulia Tbk di Pasar Kemis, Tanggerang. Bisnis/Nurul Hidayat

Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Aneka Keramik Indonesia (Asaki) mengungkapkan kekhawatiran akibat belum adanya kepastian pemerintah soal kelanjutan kebijakan harga gas bumi tertentu (HGBT) setelah resmi berakhir pada 31 Desember 2024. 

Ketua Umum Asaki, Edy Suyanto, mengatakan pada periode awal 2021-2022 implementasi gas murah industri yang dipatok US$6 per MMbtu, kebijakan tersebut mampu menurunkan biaya energi terhadap total biaya produksi ke level 23%-26% dari sebelumnya 28%-30%. 

"Kebijakan HGBT sangat vital bagi Industri Keramik yang tergolong lahap energi karena sekitar 30% biaya produksi adalah biaya energi gas sebagai bahan bakar utama," ujar Edy, dikutip Senin (6/1/2025). 

Kendati demikian, seiring berjalannya waktu, pasokan gas murah untuk industri keramik di jawa bagian timur disebut tidak mengalir optimal karena adanya pembatasan pemakaian atau kuota gas 70%-75% dari volume kontrak gas.

Kondisi tersebut memberatkan industri sebab kebutuhan gas tidak dapat digantikan dengan bahan bakar lainnya. Menurut Edy, kehadiran HGBT telah memberikan multiplier effect yang besar seperti investasi baru dan penyerapan jumlah tenaga kerja, serta kontribusi pajak kepada negara.

“Kami harap pemerintah segera memperpanjang kebijakan HGBT untuk industri keramik dalam Januari 2025 ini, di samping mencarikan solusi bersama PGN berkaitan gangguan supply gas yang telah berlarut-larut tidak kunjung selesai di mana industri dibatasi dengan pemakaian 65%-70% dari volume kontrak gas," jelasnya.

Edy bercerita gangguan supply gas dimulai pada 2023 hingga saat ini yang disebut makin menekan daya saing industri baik untuk di wilaya barat maupun timur Jawa dengan pembatasan kuota 65%-70% terlebih dengan pengenaan surcharge US$13,85 per MMbtu sejak Mei 2024. 

"Ini juga membuat semakin membengkak komponen biaya energi naik kembali ke atas 30% dari total biaya produksi," jelasnya. 

Lebih lanjut, pihaknya kembali dikejutkan oleh aturan baru PGN di mana mulai 1 Jan 2025- 31 Maret 2025, PGN mengeluarkan kebijakan Harga Gas Regasifikasi yang sangat memberatkan bahkan merugikan industri keramik nasional dengan harga US$16,77 per MMBtu dan ini merupakan harga gas termahal di kawasan Asia Tenggara.

"Ini berarti setiap pemakaian gas di atas AGIT industri dipaksa harus membayar lebih mahal sekitar 2,5 lipat dari HGBT US$6,5 per MMbtu," imbuhnya. 

Produsen keramik meminta pemerintah untuk turun tangan mempertegas kelanjutan kebijakan tersebut. Pihaknya telah mengirimkan surat Presiden Prabowo Subianto terkait keterpurukan akibat gangguan supply gas dan mahalnya surcharge yang dikenakan oleh PGN. 

Pasalnya, Edy menegaskan hal tersebut sangat mengecewakan investor asing, khususnya sektor sanitary ware karena sebagian dari mereka akan menghentikan dan mengalihkan investasi tahap lanjutannya ke negara tetangga karena tidak ada kepastian hukum.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper