Bisnis.com, JAKARTA — Sepanjang 2024, rencana kenaikan tarif pajak pertambahan nilai atau PPN menjadi 12% menjadi perbincangan panas. Pemerintah sempat memberi sinyal penundaan penerapan PPN 12% pada tahun depan, meski akhirnya tetap diterapkan dengan sejumlah insentif fiskal.
Kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% pada 1 Januari 2025 sendiri sudah menjadi amanat Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Hanya saja, sepanjang 2024, terjadi indikasi penurunan daya beli masyarakat. Contohnya, terjadi deflasi dalam lima bulan berurut-urut yaitu yaitu pada Mei (0,03%), Juni (0,08%), Juli (0,18%), Agustus (0,03%), dan September (0,12%).
Tidak hanya itu, pertumbuhan konsumsi rumah tangga juga cenderung stagnan—bahkan selalu berada di bawah angka pertumbuhan ekonomi. Perinciannya pada Kuartal IV/2023: pertumbuhan ekonomi mencapai 5,04% (year on year/YoY), sementara pertumbuhan konsumsi rumah tangga hanya 4,46% (YoY).
Pada Kuartal I/2024: pertumbuhan ekonomi mencapai 5,11% (YoY), sementara pertumbuhan konsumsi rumah tangga hanya 4,91% (YoY).
Pada Kuartal II/2024: pertumbuhan ekonomi mencapai 5,05% (YoY), sementara pertumbuhan konsumsi rumah tangga hanya 4,93% (YoY).
Terakhir pada Kuartal III/2024: pertumbuhan ekonomi mencapai 4,95% (YoY), sementara pertumbuhan konsumsi rumah tangga hanya 4,91% (YoY).
Oleh sebab itu, banyak pakar yang meminta pemerintah agar memikirkan ulang penerapan tarif PPN 12% pada tahun depan. Ditakutkan, kenaikan PPN yang berdampak ke kenaikan harga barang/jasa akan semakin buat daya beli masyarakat semakin menurun.
Apalagi, konsumsi rumah tangga masih menjadi kontributor utama pertumbuhan ekonomi Indonesia. Data terakhir dari Badan Pusat Statistik menunjukkan konsumsi rumah tangga mendistribusikan 53,08% dari produk domestik bruto (PDB) pada Kuartal III/2024.
Pemerintah paham betul akan hal tersebut. Tampak terjadi perdebatan di kalangan pembuat kebijakan ihwal penerapan PPN 12%: antara menunda untuk menjaga daya beli masyarakat atau melanjutkan agar mengerek penerimaan pajak sehingga bisa biaya berbagai program pemerintahan baru.
Maju Mundur
Perdebatan penerapan PPN 12% sendiri mulai memanas usai hasil Pilpres 2024 mulai terlihat. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto sempat menyatakan amat UU HPP akan tetap dilanjutkan oleh Presiden terpilih Prabowo, sesuai jargonnya yakni Keberlanjutan.
"Kita lihat masyarakat Indonesia sudah menjatuhkan pilihan, pilihannya keberlanjutan. Tentu kalau berkelanjutan, berbagai program yang dicanangkan pemerintah akan dilanjutkan, termasuk kebijakan PPN," katanya dalam media briefing, Jumat (8/3/2024).
Saat itu, Airlangga menyampaikan bahwa pemerintah mulai menyusun rencana kerja pemerintah (RKP) untuk tahun anggaran 2025. Pembahasan RKP ini akan juga memasukkan program atau rencana kerja pemerintahan yang baru.
Usai Presiden Jokowi menyampaikan draf RUU APBN 2025 ke DPR pada medio Agustus lalu, Airlangga kembali menyatakan tarif PPN akan tetap naik 1% pada awal 2025 selama aturan dalam Pasal 7 ayat (1) UU HPP belum dibatalkan dengan UU lain.
"[Tetap naik 12%] sesuai dengan HPP," ujar Airlangga di Kantor Pusat Dirjen Pajak, Jakarta Selatan, Jumat (16/8/2024).
Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati merasa bingung karena banyak pihak yang menyoroti rencana kenaikan tarif PPN tersebut. Padahal, menurutnya, kenaikan PPN malah akan menjaga daya beli masyarakat.
Sri Mulyani menjelaskan bahwa barang/jasa untuk kebutuhan pokok seperti pendidikan, kesehatan, hingga transportasi tidak terkena PPN. Oleh sebab itu, dia menunjukkan data bahwa masyarakat kelas menengah hingga kaya merupakan kelompok yang paling banyak menikmati kebijakan PPN yang dibebaskan.
"Kalau kita lihat yang biru tua di atas ini [kebijakan PPN yang dibebaskan], mereka dinikmati bahkan lebih pada kelompok kelas menengah bahkan sampai ke atas [kelompok kaya] dalam hal ini," ungkap Sri Mulyani dalam Konferensi Pers RAPBN 2025 di Kantor Pusat Dirjen Pajak, Jakarta Selatan, Jumat (16/8/2024).
Singkat cerita, pemerintahan berubah. Presiden Jokowi resmi digantikan Presiden Prabowo.
Ternyata, arah perbincangan kenaikan tarif PPN seakan turut berubah. Usai melaksanakan rapat koordinasi terbatas dengan para kementerian yang dibawahinya, Airlangga yang kembali menjadi menteri koordinator bidang perekonomian menyatakan kenaikan tarif PPN akan dibahas ulang.
Artinya, masih ada kemungkinan pembatalan kenaikan tarif PPN pada awal tahun depan—kemungkinan yang sempat dipinggirkan ketika era pemerintahan Jokowi.
"Masih dibahas dengan Kementerian Keuangan. Jadi kita masih akan ada pembahasan [terkait kenaikan tarif PPN menjadi 12%]," kata Airlangga usai rapat koordinasi terbatas di kawasan Jakarta Selatan, Minggu (3/11/2024).
Hanya saja, dalam rapat kerja antara Kementerian Keuangan dengan Komisi XI DPR pada Rabu (13/11/2024), Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa kenaikan PPN menjadi 12% merupakan amanat UU HPP.
Dia menyatakan bahwa pemerintah akan mencoba menjalankan rencana kenaikan tarif PPN tersebut meski banyak pihak yang menentangnya.
"Kita perlu siapkan agar itu [kenaikan PPN menjadi 12%] bisa dijalankan, tapi dengan penjelasan yang baik," ujarnya.
Bahkan, usai pernyataan Sri Mulyani tersebut, Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak menyatakan akan memberikan pemahaman kepada masyarakat melalui sosialisasi dan edukasi terkait dampak kenaikan PPN menjadi 12%. Ditjen Pajak tidak menampik belakangan terjadi gelombang penolakan rencana penerapan kebijakan tersebut.
Hanya saja, Dwi Astuti meyakini dampak kenaikan tarif PPN nantinya akan dirasakan oleh masyarakat. Pemerintah, klaimnya, akan mengembalikan hasil kenaikan tarif PPN ke masyarakat melalui berbagai program kesejahteraan.
"Upaya-upaya penyejahteraan tersebut antara lain melalui pemberian Bantuan Langsung Tunai [BLT], Program Keluarga Harapan [PKH], Kartu Sembako, Program Indonesia Pintar [PIP], Kartu Indonesia Pintar [KIP] Kuliah, subsidi listrik, subsidi LPG 3 kg, subsidi BBM, dan subsidi pupuk," kata Dwi kepada Bisnis, Jumat (22/11/2024).
Tidak lama berselang, arah perbincangan kembali berbalik: pemerintah kembali memberi sinyal penundaan. Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan blak-blakan kemungkinan besar pemerintah akan menunda penerapan kenaikan tarif PPN.
Menurut Luhut, pemerintah ingin memperbaiki daya beli masyarakat terlebih dahulu. Pemerintah, kata Luhut, tengah menggodok stimulus bantuan sosial kepada rakyat khususnya kelas menengah sebelum tarif PPN 12% diterapkan.
"Ya hampir pasti diundur [kenaikan PPN jadi 12%], biar dulu jalan tadi yang ini [bantuan sosial]," kata Luhut kepada wartawan, Rabu (27/11/2024).
Usai pernyataan Luhut, Ditjen Pajak Kementerian Keuangan menyatakan akan menunggu keputusan final Presiden Prabowo Subianto.
"Terkait hal tersebut [pernyataan Luhut], DJP [Direktorat Jenderal Pajak] senantiasa akan mengikuti keputusan pemerintah," jelas Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Dwi Astuti kepada Bisnis, dikutip pada Sabtu (30/11/2024).
Dalam perkembangan selanjutnya, pimpinan DPR kemudian menemui Prabowo di Istana Negara. Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menyatakan parlemen meminta pemerintah lebih selektif dalam mengenakan tarif PPN 12%. Artinya, tidak semua barang/jasa yang dikenakan tarif PPN 12%.
Dia juga meminta secara khusus kepada Prabowo untuk menurunkan pajak bagi barang kebutuhan pokok. Menurut Dasco, Prabowo menyambut baik usulan DPR.
"Bapak Presiden tadi menjawab bahwa akan dipertimbangkan dan akan dikaji," ucapnya usai melakukan pertemuan bersama Presiden Prabowo Subianto dengan perwakilan DPR Komisi XI di Istana Negara, Kamis (5/12/2024).
Usai menerima audiensi pimpinan DPR, Presiden Prabowo Subianto kemudian memastikan akan memberlakukan kenaikan tarif PPN 12% khusus untuk barang/jasa yang berkategori mewah.
"PPN adalah undang-undang, ya kita akan kita laksanakan, tapi selektif. Hanya untuk barang mewah," kata Prabowo saat memberikan keterangan pers di ruang Presidensial Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (6/12/2024).
Keputusan Final
Pada 13 Desember 2024, Prabowo kemudian memanggil sejumlah menteri Kabinet Merah Putih untuk menggelar rapat terbatas (ratas) berkaitan dengan kebijakan PPN 12%.
Dalam pantauan Bisnis, tampak hadir Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati serta Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara.
Tiga hari berselang, pemerintah resmi mengumumkan tarif PPN 12% akan tetap diberlakukan pada 1 Januari 2024. Hanya saja, pemerintah turut mengumumkan paket kebijakan insentif fiskal kepada masyarakat, sebagai kompensasi kenaikan tarif PPN tersebut.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengaku kebijakan insentif fiskal tersebut dikeluarkan agar kenaikan PPN dari 11% menjadi 12% tidak memberi dampak negatif ke masyarakat.
"Paket ini dirancang untuk melindungi masyarakat, mendukung pelaku usaha—utamanya UMKM dan padat karya, menjaga stabilitas harga serta pasokan bahan pokok, dan ujungnya untuk kesejahteraan masyarakat," ujar Airlangga di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta Pusat, Senin (16/12/2024).
Di samping itu, mantan ketua umum Partai Golkar itu menegaskan penerimaan perpajakan juga sangat diperlukan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto sehingga tarif PPN harus tetap naik.
Penerimaan perpajakan tersebut, sambung Airlangga, diperlukan untuk menjalankan berbagai program unggulan pemerintahan seperti kedaulatan pangan dan energi, pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, perlindungan sosial, serta makan bergizi gratis.
Hanya saja, tarif PPN 12% berlaku secara umum alias bukan hanya untuk barang/jasa mewah saja seperti yang sempat disampaikan DPR maupun pemerintah.
"Kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% berlaku untuk seluruh barang dan jasa yang selama ini dikenai tarif 11%," ujar Direktur P2Humas Ditjen Pajak Dwi Astuti dalam siaran persnya, Sabtu (21/12/2024).
Artinya, secara umum barang/jasa yang telah menjadi kebutuhan umum seperti pakaian, sepatu, kosmetik, jajanan, hingga layanan streaming (Netflix, Spotify, dan sejenisnya) akan tetap kena PPN 12%.
Hanya saja, ada beberapa barang/jasa yang tidak dikenai PPN 12%. Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Morgiarso menjelaskan barang/jasa yang dibebaskan dari tarif PPN 12% diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49/2024 dan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59/2020.
Selain itu, diputuskan ada tambahan tiga barang strategis dengan PPN ditanggung pemerintah (DTP) sebesar 1% yaitu MinyaKita, tepung terigu, dan gula industri. Artinya, tiga barang tersebut kena PPN 11%.
"Nah, di luar itu sebenarnya secara legalnya kan tetap kena PPN 12%. Artinya ada tambahan 1% dari yang ada sekarang, kan gitu," jelas Susi di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta Pusat, dikutip Rabu (18/12/2024).
Dia juga tidak menampik ada perluasan enam barang/jasa yang akan dikenakan PPN meski sebelumnya sudah dibebaskan. Barang/jasa tersebut dikenai PPN karena bersifat mewah.
Barang/jasa yang dimaksud yaitu beras premium, buah-buahan premium, daging premium (wagyu, daging kobe), ikan mahal (salmon premium, tuna premium), udang dan krustasea premium (king crab), jasa pendidikan premium, jasa pelayanan kesehatan medis premium, serta listrik pelanggan rumah tangga 3.500—6.600 volt ampere (VA).
Sebelumnya, barang/jasa tersebut termasuk yang dibebaskan PPN karena tersebut bahan makan, listrik, dan jasa sektor pendidikan/kesehatan seperti yang diatur PP 49/2024 dan Perpres 59/2020.
Daftar Barang/Jasa yang Bebas PPN 12%:
1. Bahan makanan (daging, ikan, beras, cabai, gula pasir, telur ayam ras, dan bawang—kecuali yang bersifat premium yang nanti dirincikan dalam PMK)
2. Jasa pendidikan
3. Jasa pelayanan kesehatan medis
4. Jasa pelayanan sosial
5. Jasa angkutan umum
6. Jasa keuangan
7. Jasa persewaan rumah susun dan umum