Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Dewan Energi Nasional Ingin Regulasi Soal PLTN Rampung 2025

Dewan Energi Nasional (DEN) berharap regulasi Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) berupa revisi Peraturan Pemerintah diterbitkan pada 2025.
Ekonomi hijau dan transisi energi/ilustrasi
Ekonomi hijau dan transisi energi/ilustrasi

Bisnis.com, JAKARTA – Dewan Energi Nasional (DEN) berharap regulasi Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir atau PLTN diterbitkan pada 2025 seiring dengan persetujuan prinsip oleh pemerintah dan DPR periode sebelumnya.

Anggota DEN Eri Purnomohadi mengatakan regulasi tersebut akan diatur dalam revisi Peraturan Pemerintah tentang Kebijakan Energi Nasional atau KEN.

"Mudah-mudahan ada rancangan baru pada 2025 dalam bentuk PP yang disepakati pemerintah dan DPR, sehingga Nuklir pada 2032 sudah bisa menjadi pilihan energi bersih," ujar Eri dalam keterangannya, Rabu (11/12/2024).

Dia menuturkan energi nuklir merupakan pilihan terakhir dalam aturan PP KEN yang belum direvisi. Hal tersebut seiring dengan nuklir yang masih menjadi isu sensitif dan muncul banyak penolakan, terutama di Pulau Jawa.

Akan tetapi, lanjutnya, target untuk mencapai net-zero emissions dan komitmen terhadap perubahan iklim global membuat pembangunan PLTN kini menjadi tuntutan utama.

"Kita harus bergerak dari energi fosil menuju energi bersih. Namun, transisi ini tidak bisa langsung lompat, perlu ada periode transisi yang melibatkan gas sebagai energi peralihan," katanya dalam forum Katadata Policy Dialogue.

Dia menjelaskan energi hijau seperti matahari dan angin belum bisa menjadi pembangkit listrik beban dasar karena sifatnya yang tidak dapat diprediksi.

Menurutnya, pembangkit listrik beban dasar masih membutuhkan energi lain, seperti geothermal atau nuklir.

Sementara itu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Energi (ESDM) sedang menggodok model bisnis yang cocok untuk meningkatkan cadangan energi nasional yang hanya mampu bertahan sekitar 20 hari.

Plt. Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan model bisnis tersebut penting agar cadangan energi tidak menjadi aset pasif. Adapun, cadangan energi nasional saat ini setara dengan Rp70 triliun.

"Kami sedang menggodok agar cadangan energi tersebut tidak menjadi stok pasti, namun menjadi stok yang secara mekanisme bisnis bisa menarik," katanya.

RefoMiner Institute mencatat, cadangan energi Indonesia tergolong kecil dibandingkan negara lain seperti Jepang, China, Korea Selatan, dan India yang mampu menahan kebutuhan lebih dari tiga bulan. Sementara itu, cadangan energi di Eropa dan Amerika Serikat dapat menopang kegiatan masyarakatnya di atas enam bulan.

Dadan menjelaskan, pemerintah saat ini melirik pengembangan migas di benua Afrika, seperti Afrika Selatan dan Aljazair. Sebab, Produksi migas di kedua negara tersebut dapat menjadi hak milik perusahaan migas melalui skema bagi hasil.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper