Bisnis.com, JAKARTA — Tax buoyancy atau elastisitas penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto berada di nilai -0,47 per Kuartal III/2024 atau selama Januari—September 2024. Nilai tersebut menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak sejalan dengan penerimaan pajak.
Sebagai informasi, idealnya nilai tax buoyancy adalah 1. Nilai tersebut menandakan bahwa setiap 1% pertumbuhan ekonomi menghasilkan penerimaan pajak yang juga sebesar 1%.
Nilai tax buoyancy sendiri diperoleh dari perhitungan persentase perubahan penerimaan pajak dibagi persentase perubahan produk domestik bruto (PDB).
Menurut catatan Kementerian Keuangan (Kemenkeu), penerimaan pajak terkontraksi sebesar 2,38% (year on year/YoY) hingga Kuartal III/2024. Sementara itu berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi mencapai 5,03% hingga Kuartal III/2024 atau Januari—September 2024.
Artinya, tax buoyancy Indonesia berada di -0,47% per Kuartal III/2024. Angka tersebut jauh lebih rendah dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu yaitu senilai 1,17%.
Oleh sebab itu, kini pertumbuhan ekonomi atau PDB semakin tidak seimbang dengan laju penerimaan pajak.
Baca Juga
Padahal, secara historis, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sempat mengungkapkan pemerintah dapat menjaga tax buoyancy pasca pandemi Covid-19 atau sejak 2021 hingga 2023 dengan tetap berada di atas angka 1.
Dalam paparannya, Sri Mulyani menunjukkan tax buoyancy pada 2021 sebesar 1,94. Sementara pada 2022, tax buoyancy di luar program pengungkapan sukarela (PPS) wajib pajak, berada di angka 1,92.
Sementara dalam outlook 2023, tax buoyancy diperkirakan lebih rendah, yakni 1,26.
"Kita berharap momentum ini akan terus memperbaiki tax ratio yang saat ini sering disorot, buoyancy selalu di atas 1, itu menyebabkan tax ratio akan naik," ungkapnya dalam konferensi pers, dikutip pada Senin (18/12/2023).