Bisnis.com, JAKARTA – Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) tidak melihat adanya indikasi penurunan daya beli dari tren deflasi lima bulan berturut-turut.
Kepala LPEM FEB UI Chaikal Nuryakin menyampaikan pada dasarnya penurunan daya beli masyarakat terekam pada komponen inflasi inti.
“Saya mungkin tidak berpihak pada pendapat ini [deflasi menunjukkan penurunan daya beli]. Daya beli menurun harus ditunjukkan oleh inflasi inti,” ungkapnya pada sesi Tanya Peneliti LPEM dalam kanal YouTube LPEM FEB UI, dikutip Jumat (11/10/2024).
Chaikal menyampaikan saat ini komponen tersebut masih menjadi acuan untuk menyimpulkan kondisi daya beli, meski dalam komponen inflasi inti, terdapat komoditas emas yang harganya cenderung terus mengalami kenaikan dan mendorong terjadinya inflasi.
Sebagai lembaga penyelidikan, Chaikal menyampaikan LPEM telah menelusuri musabab deflasi tersebut. Indeks Harga Konsumen (IHK) pada dasarnya memiliki tiga komponen, yakni inflasi inti, harga diatur pemerintah/administered price, dan harga bergejolak atau volatilfe food.
Nyatanya, deflasi beruntun disebabkan oleh penurunan harga barang-barang bergejolak atau volatile food(VF), seperti bawang, cabai, ikan, telur, daging, dan sebagainya.
Baca Juga
“Inflasi inti tetap meningkat sekitar 1,8% – 2%. Inti tetap mengalami inflasi, yang sebenarnya juga tidak terlihat adanya penurunan daya beli. Meksipun beberapa pengamat mengatakan inflasi inti bias karena ada harga emas,” jelasnya.
Chaikal menjelaskan, pasokan dan permintaan atau supply dan demand sangat mempengaruhi inflasi maupun deflasi.
Di mana pasokan VF atau bahan pangan di Indonesia sangat dipengaruhi musim. Seperti halnya waktu panen raya beras yang terjadi pada kuartal pertama hingga kedua, sehingga pasokan akan melimpah dan harga cenderung turun.
Sementara pada musim Ramadan, Lebaran, liburan, maupun Natal, permintaan akan meningkat.
Normalnya, VF memang bersifat naik turun dan Chaikal menyebutnya sebagai mean reversion. Harga bergejolak akan mengalami inflasi 2-3 bulan, kemudian akan deflasi 2-3 bulan berikutnya.
Untuk pertama kalinya sejak 1999 terjadi deflasi berkepanjangan, Chaikal melihat masih perlu penelusuran lebih lanjut penyebab lainnya terjadi deflasi.
“Apakah memang terjadi penurunan biaya logistik? Biaya produksi yang menurun? Kami belum memastikan apakah benar-benar terjadi hal tersebut,” tuturnya.
Boleh jadi, katanya, bencana alam yang lebih minim terjadi pada tahun ini seperti banjir maupun kekeringan, mendorong deflasi barang-barang bergejolak.