Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ekonom Yakin Deflasi 5 Bulan Beruntun karena Daya Beli Kelas Menengah Turun

Deflasi lima bulan berurut-urut menjadi anomali di tengah pertumbuhan ekonomi yang terjaga 5%. Ada indikasi pelemahan daya beli, terutama di kelas menengah.
Siluet pekerja menyelesaikan proyek pembangunan gedung di Jakarta. / Bisnis-Nurul Hidayat
Siluet pekerja menyelesaikan proyek pembangunan gedung di Jakarta. / Bisnis-Nurul Hidayat

Bisnis.com, JAKARTA — Center of Reform on Economics (Core) Indonesia meyakini bahwa deflasi lima bulan terakhir secara berurut-urut terjadi karena penurunan daya beli masyarakat, terutama kelas menengah.

Direktur Eksekutif Core Mohammad Faisal mengatakan bahwa deflasi selama berbulan-bulan hanya terjadi ketika ada krisis atau kondisi ekonomi yang sedang tidak baik. Deflasi berbulan-bulan, sambungnya, merupakan anomali dengan angka pertumbuhan ekonomi Indonesia yang masih di atas 5%.

"Deflasi lima bulan berurut-urut itu mengkhawatirkan menurut saya, karena kalau dalam kondisi normal ini tidak terjadi untuk negara dengan tingkat pertumbuhan seperti di Indonesia yang 5%," ujar Faisal kepada Bisnis, Selasa (1/10/2024).

Dia menjelaskan, notabenenya deflasi terjadi karena lemahnya tingkat permintaan. Dalam konteks Indonesia belakangan, dia meyakini pendapatan masyarakat melemah.

Menurutnya, pendapatan masyarakat saat ini lebih rendah dibandingkan pra pandemi. Selain itu, banyak orang yang belum bisa kembali bekerja usai terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) saat masa pandemi.

"Ini mempengaruhi dari tingkat spending mereka sehingga spending itu relatif melemah terutama untuk kalangan yang menengah dan bawah," jelas Faisal.

Dia pun mengingatkan, kelas menengah merupakan mesin utama pertumbuhan ekonomi terutama karena menjadi kelompok penduduk yang mengontrobusikan konsumsi terbesar. Sementara itu, konsumsi rumah tangga menjadi kontribusi terbesar terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia.

Oleh sebab itu, jika konsumsi kelas menengah melemah maka perekonomian juga tidak akan bergerak seperti pelemahan industri manufaktur dan sektor jasa-jasa.

"Ini yang perlu menjadi catatan. Artinya perlu menyikapi secara tepat kondisi ini, insentif bukan hanya dalam hal pelonggaran moneter tapi juga kebijakan insentif di fiskal dan di sektor riil," kata Faisal.

Sementara itu, ekonom Core Yusuf Rendy Manilet menyoroti angka inflasi inti sebesar 0,16% pada September 2024 secara bulanan (month to month/MtM). Dia mengungkapkan, angka tersebut mirip dengan inflasi inti ketika terjadi proses pemulihan pandemi pada 2020—2021.

Selain itu, dia menyoroti indeks keyakinan konsumen pada Agustus. Meski secara umum keyakinan konsumen mengalami peningkatan namun berdasarkan kelompok pengeluaran (Rp4,1 juta—5 juta) ataupun penghasilan (Rp3,1 juta—4 juta) cenderung rendah.

"Pertumbuhannya juga relatif kecil hanya mencapai 0,7% secara bulanan. Artinya memang kelompok kelas menengah relatif tertekan untuk melakukan konsumsi," jelas Yusuf kepada BisnisSelasa (1/10/2024).


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper