Bisnis.com, JAKARTA -- Pengamat meragukan keberhasilan dari hilirisasi industri yang menjadi salah satu program prioritas pada era pemerintahan Presiden terpilih Prabowo Subianto, karena bakal berjalan dengan anggaran yang lebih rendah.
The Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai kondisi tersebut tidak konsisten dengan upaya hilirisasi yang digaungkan sejak pemerintahan Joko Widodo.
Researcher, Center of Industry, Trade and Investment Indef, Ariyo D. P Irhama mengatakan penurunan anggaran pada RAPBN 2025 dibandingkan outlook 2024 lalu cukup besar dan terdapat selisih yang jauh.
"Ironisnya, anggaran kementerian yang mengalami hilirisasi ini mengalami penurunan anggaran yang sangat signifikan. Saya lihat ada 6 kementerian yang menangani hilirisasi industri dari Kementan, KKP, KLHK, ESDM, Perindustrian dan BKPM ini mengalami penurunan," kata Ariyo dalam diskusi publik, Minggu (18/8/2024).
Secara rinci, Ariyo menjabarkan bahwa dari 6 kementerian tersebut anggaran pada outlook 2024 sebesar Rp39,5 triliun. Sedangkan, pada RAPBN 2025 anggarannya hanya mencapai Rp27,4 triliun atau turun Rp12 triliun.
Dalam RAPBN 2025, anggaran Kementerian Pertanian (Kementan) sebesar Rp7,9 triliun atau turun dari outlook 2024 senilai Rp13,3 triliun. Anggaran Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sebesar Rp6,2 triliun atau turun dari Rp7,5 triliun.
Baca Juga
Di sisi lain, alokasi dana untuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencapai Rp6,23 triliun atau turun dari Rp7,34. Sementara itu, anggaran Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) senilai Rp3,90 triliun atau turun dari Rp6,4 triliun.
Lebih lanjut, anggaran untuk Kementerian Perindustrian (Kemenperin) turun dari Rp3,6 triliun menjadi Rp2,5 triliun. Sedangkan, Kementerian Investasi/BKPM mendapatkan anggaran Rp68 miliar dari sebelumnya Rp1,1 triliun.
"Jadi ketika disebut prioritas namun alokasi anggarannya ada penurunan saya lihat ini ada inkonsistensi pemerintah terhadap apa yang sudah ditetapkan menjadi prioritas dan juga karena anggarannya tidak sejalan," tuturnya.
Terlebih, konsep hilirisasi yang berjalan hingga saat ini pun dinilai tidak tepat. Pemerintah selama ini hanya fokus pada optimalisasi pemanfaatan sumber daya alam tanpa mementingkan penguatan teknologi inovasi.
Apalagi, fokus hilirisasi industri dalam RAPBN 2025 mengacu pada 3 poin yang akan dilakukan mulai dari hilirisasi industri berbasis tambang mineral, berbasis agro, dan daya saing hilirisasi.
"Penting sekali membangun industri ini dengan teknologi, kalau kita lihat disini peningkatan pemanfaatan teknologi industri ini belum tepat, maksud saya pemerintah belum menunjukkan prioritasnya untuk bangun teknologi dalam negeri, karena ini merupakan syarat penting untuk bangun hilirisasi," terangnya.
Ariyo mencontohkan, hilirisasi nikel selama ini ditujukan untuk produk hilir berupa baterai yang disebut memiliki nilai tambah tinggi. Namun, menurut dia, nilai tambah baterai tersebut bukan berasal dari nikel namun berdasarkan inovasi teknologi ketika nikel diproses dengan mineral lainnya sehingga mampu menghasilkan listrik dan menyimpan energi.
Sayangnya, pemerintah masih fokus pada nikel nya, SDA nya. Dia berharap pemerintahan ke depan fokus pada penguatan pemanfaatan teknologi inovasi. Bahkan, para inovator tengah mendorong teknologi baterai dengan mineral dan bahan baku lain, seperti biomass yang saat ini berjalan.
"Jadi kuncinya bukan di sumber daya alam, tapi di teknologi, dan semua negara maju menguasai teknologi, kalau kita mau jadi negara maju harus kuasai itu," pungkasnya.