Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Mengenal Pajak untuk Miliarder yang Dibahas di G20 Brasil

Sebanyak 20 negara dengan perekonomian terbesar di dunia (G20) sepakat untuk menerapkan kebijakan pajak miliarder. Apa itu?
Ilustrasi pajak pertambahan nilai (PPN). Dok Freepik
Ilustrasi pajak pertambahan nilai (PPN). Dok Freepik

Bisnis.com, JAKARTA - Sebanyak 20 negara dengan perekonomian terbesar di dunia (G20) sepakat untuk menggarap kebijakan pajak miliarder dalam pertemuan di Brasil.

Pajak miliarder merupakan istilah merujuk pada pajak progresif yang tinggi, yang dikenakan pada individu dengan kekayaan sangat besar. =

Beberapa tujuan Pajak Miliarder adalah untuk mengurangi kesenjangan antara kaya dan miskin. Memberikan sumber pendapatan tambahan untuk pemerintah untuk membiayai layanan publik seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. dan mendorong orang kaya untuk menginvestasikan uang mereka atau menggunakannya untuk kegiatan ekonomi produktif.

Mengutip akun Instagram @citaresearch.id pada Sabtu (10/8/2024), proposal bernama Coordinated Minimum Effective Taxation fo Ultra High Net Worth Individuals itu diajukan oleh ekonom Perancis, Gabriel Zucman.

Di beberapa negara, orang super kaya belum dipajaki secara adil. Tarif pajak efektif justru melandai bagi para kelompok berpendapatan super kaya, contohnya di Italia, Belanda, dan Perancis. 

Selain itu, instrumen pajak penghasilan (PPh) juga dinilai gagal memajaki orang super kaya. Tarif PPh orang pribadi (PPh OP) di Belanda bahkan hanya 0%.

Zucman menyebut, kelompok orang super kaya ini menghindari PPh OP dengan dua cara. Pertama, tidak memberikan dividen dan realisasi capital gain. Kedua, melalui instrumen bernama personal wealth-holding companies.

Pemajakan khusus orang super kaya ini juga diperlukan karena adanya batasan dari instrumen pajak atas harta (wealth tax). Menurut Zucman, batasan ini disebabkan oleh adanya kebijakan exemption.

Menurutnya, capital tax rate untuk kelompok miliarder sangat rendah, yakni pada rentang 0% hingga 0,6%, bahkan pada negara yang menerapkan wealth tax seperti Norwegia dan Perancis.

Adapun, dalam proposalnya, Zucman menyebut pajak khusus ini diberikan untuk memastikan kelompok miliarder membayar pajak efektif minimum sebesar 2% dari harta mereka. Cakupan perhitungan pajak minimum nantinya adalah pajak penghasilan orang pribadi, pajak atas harta, dan pungutan lain yang setara secara ekonomi.

Dia menyebut, pajak minimum tidak seharusnya dilihat sebagai wealth tax. Menurutnya, pajak minimum dilihat sebagai alat untuk menguatkan instrumen PPh.

Zucman melanjutkan, pajak minimum sebagai alat yang optimal untuk meningkatkan efektivitas pajak bagi kelompok super kaya. Tidak peduli dengan strategi tax avoidance yang digunakan, ada batas minimum yang harus dibayarkan kelompok ini.

Secara teknis, pajak minimum merupakan presumptive income tax. Sistem pajak yang ada tidak dapat menangkap pendapatan ekonomis menjadikan sistem pajak saat ini tidak berkeadilan. 

Adapun, berdasarkan proposal tersebut, implementasi baseline scenario pajak untuk kelompok super kaya ini akan menghasilkan penerimaan sekitar US$200 hingga US$250 miliar per tahunnya. Namun, penerimaan yang didapat akan lebih besar jika pengenaan pajak ini diperluas tidak hanya untuk orang dengan penghasilan lebih dari US$1 miliar, tetapi juga kelompok berpendapatan US$100 juta-US$1 miliar.

Sementara itu, Zucman juga menyebut ada beberapa tantangan dalam implementasi pengenaan pajak untuk kelompok super kaya ini. Valuasi dari aset menjadi salah satu hal yang harus dicermati dalam pengenaan pajak ini. 

Dalam proposalnya, Zucman menggunakan harta sebagai referensi untuk perhitungan pajak minimum, sehingga valuasi aset menjadi penting. Perlu penguatan dan harmonisasi dalam penilaian aset seperti implementasi Global Minimum Tax yang mengharmonisasi definisi GloBE Income/Loss atau adjusted covered tax.

Valuasi aset ini juga perlu dicermati untuk perusahaan yang belum go public, contohnya penggunaan rasio penjualan terhadap nilai pasar pada perusahaan jenis tersebut.

Hal kedua yang perlu dicermati adalah upaya penyembunyian kekayaan. Menurutnya, hal ini dapat diatasi dengan menggunakan data FATCA dan CRS yang terbukti mengurangi penghindaran pajak atau tax evasion.

Namun, dia juga menilai perlu ada penguatan FATCA dan CRS, tidak hanya aset keuangan tetapi aset non keuangan seperti real estate, barang seni, dan lainnya.

Selanjutnya, pajak khusus ini juga perlu mencermati beneficial owner (BO). Menurutnya, solusi identifikasi BO ini dapat dilakukan dengan beberapa cara. Pertama, penambahan data BO dalam country by country reports oleh perushaan multi nasional.

Kedua, mewajibkan self reporting bagi kelompok masyarakat super kaya. Model pelaporan tersebut dapat mengikuti country by country reports oleh perusahaan internasional. Data tersebut nantinya akan dipertukarkan dengan otoritas pajak negara lain.

Kemudian, data-data tersebut perlu dipastikan kualitasnya melalui sumber domestik atau otoritas keuangan, informasi antar yurisdiksi, informasi dari country by country reports, serta sumber terkait lainnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper