Bisnis.com, JAKARTA - Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (REI) meminta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menindak tegas perusahaan pinjaman online (pinjol) yang tidak sesuai aturan. Maraknya pinjol dinilai mulai menghambat pertumbuhan sektor properti.
Ketua Umum DPP REI Joko Suranto mengatakan, pihaknya menemukan 40% kasus pengajuan kredit pemilikan rumah (KPR) dan KPR bersubsidi yang ditolak bank karena skor kredit nasabah yang kurang baik.
"Hal itu membuat mereka terhambat mendapatkan KPR dan kehilangan kesempatan untuk memiliki rumah idamannya. Padahal, rumah adalah tempat awal bagi keluarga untuk mendidik anak-anak mereka," kata Joko dalam keterangan tertulis, dikutip Sabtu (3/8/2024).
Joko juga menyoroti jejak utang pinjol pada Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) atau BI Checking yang belum tentu langsung terhapus. Pasalnya, data tersebut tak memiliki rentang waktu yang valid untuk dibersihkan.
Tak hanya itu, dia melihat ada juga kasus saat masyarakat hendak melunasi utangnya, tetapi perusahaan pinjolnya sudah tutup atau ditutup.
"Kondisi ini menjadi persoalan karena masyarakat tidak tahu cara melunasi dan membersihkan data utangnya di OJK. Kami sudah pernah menyampaikan usulan kepada OJK untuk merapikan riwayat keuangan masyarakat dengan kriteria tertentu," ujarnya.
Baca Juga
Salah satu yang diusulkan REI, yaitu pembersihan data pada SLIK atau riwayat konsumen setelah 2 tahun selesai melunasi atau menyelesaikan utang pada pinjol.
Di samping itu, REI mendukung OJK untuk memperketat peninjauan dan tindakan tegas bagi pinjol ilegal yang merugikan masyarakat. Adapun, OJK juga resmi merilis daftar pinjol ilegal yang berlaku 1 Agustus 2024. Ada 654 entitas pinjol ilegal yang dinyatakan berbahaya karena tidak berizin.
"Langkah OJK tersebut bisa menjadi pintu masuk bagi pemerintah dan OJK untuk meninjau dan menata kembali bisnis pinjol ini, karena faktanya telah menyebabkan banyak masalah dan menimbulkan korban di masyarakat. Dampak negatif pinjol cukup besar, bahkan sampai ada korban jiwa," jelasnya.
Asosiasi perusahaan pengembang itu juga meminta OJK untuk menerapkan aturan yang sama kepada perusahaan pinjol atau fintech lending seperti prosedur dan batasan suku bunga seperti yang berlaku di perbankan karena produk akhirnya sama, yakni kredit pinjaman.
Selain itu, Joko Suranto berharap OJK juga melakukan edukasi yang terus-menerus kepada masyarakat terkait potensi masalah yang dapat mereka alami jika tidak dapat memenuhi kewajiban pinjolnya.
"Harus ada edukasi yang serius karena begitu mereka bermasalah dengan pinjol, maka dampak kewajibannya akan dahsyat karena bunga pinjaman bisa mencapai 116% per tahun, dan juga menimbulkan kesulitan pada akses pembiayaan mereka ke perbankan seperti untuk modal usaha atau KPR," terangnya.
Lebih lanjut, REI berharap agar Majelis Ulama Indonesia (MUI) turut menegaskan fatwa hukum pinjol. Sebab, menurut dia, pinjol ini jelas lebih banyak mudarat daripada manfaatnya.
"Selain itu ada indikasi eksploitasi karena bunga pinjaman yang super tinggi sehingga tidak ada kejelasan dan kepastian kapan peminjam dapat menyelesaikan [melunasi] pinjaman tersebut," ungkapnya.
Pada 2021 lalu, komisi Fatwa MUI pernah menggelar ijtima ulama yang menyepakati hukum pinjol dalam Islam. Ijtima ulama tersebut memutuskan keharaman mengambil untung dari akad pinjam-meminjam baik secara online maupun offline.