Bisnis.com, JAKARTA- Pelaku usaha pertekstilan menagih langkah heroik pemerintah untuk menyelamatkan industri tekstil dan pertekstilan (TPT) dari ancaman penutupan pabrik hingga pemutusan hubungan kerja (PHK) massal.
Teranyar, Kementerian Perindustrian mencatat terdapat 6 perusahaan gulung tikar dan 11.000 pekerja tekstil kena PHK. Kemenperin menyebut kondisi tersebut terjadi lantaran relaksasi impor melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) 8/2024.
Kebijakan tata kelola importasi tersebut mempermudah barang jadi dari luar negeri memasuki pasar domestik. Hal ini dinilai merugikan industri nasional karena negara lain melakukan restriksi perdagangan, sementara Indonesia membuka akses masuk barang impor.
Belum lagi impor produk tekstil ilegal yang tak terbendung dan membanjiri pasar dalan negeri. Daya saing produk lokal semakin tersudutkan. Alih-alih langkah tegas, pemerintah melalui antar kementerian malah terlihat saling tunjuk kesalahan.
Hal ini pun membuat kalangan produsen tekstil dalam negeri keheranan. Pelaku usaha meminta beberapa kementerian untuk menghentikan perseteruan terkait polemik kebijakan importasi.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta mengatakan pemerintah semestinya fokus menyelesaikan permasalahan utama yang menjadi penyebab PHK dan penutupan pabrik.
"Semakin lama kita berdebat soal aturan, kondisi industri tekstil kita semakin memburuk, karena permasalahan utamanya kan impor ilegal yang saat ini masih terus berlangsung," ungkap Redma, Rabu (10/7/2024).
Terkait impor ilegal, Redma untuk kesekian kalinya meminta pemerintah untuk memperbaiki kinerja buruk Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) yang justru menghiraukan modus impor borongan, pelarian HS, hingga under inovoicing yang terjadi secara bebas.
Alhasil, barang impor murah banyak membanjiri pasar domestik. Untuk itu, Redma menilai Menteri Keuangan Sri Mulyani menutupi kinerja buruk Bea Cukai yang berada dalam kewenangannya. Dia melihat, Sri Mulyani hanya berputar-putar mencari alasan industri tekstil terpuruk.
Di sisi lain, pihaknya melihat itikad baik dari Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian untuk mengendalikan impor tekstil dan pakaian jadi melalui sejumlah kebijakan. Meskipun, keduanya juga seringkali terlibat lempar tunjuk kesalahan.
TUNJUK BEA CUKAI
Redma mengapresiasi dan berharap agar Permendag 8/2024 dapat dikembalikan ke aturan sebelumnya seperti Permendag 36/2023 dan menerapkan Permenperin 5/2024 terkait Pertimbangan Teknis (Pertek).
"Kami sangat paham bahwa sejak dikeluarkannya kedua aturan ini, para importir dan oknum rekanannya di Bea Cukai tidak senang dan membuat berbagai dinamika hingga akhirnya pemerintah terpaksa mengeluarkan aturan relaksasi impor melalui Permendag 8/2024 karena tersudut," ujarnya.
Namun, Redma melihat oknum Bea Cukai bersama para mafia impor melakukan perlawanan atas perintah Presiden Joko Widodo pada 6 Oktober 2023 lalu terkait perlindungan industri dalam negeri.
Lebih lanjut, dia mendukung langkah Kemendag yang akan membentuk Satgas impor ilegal bersama Kadin Indonesia untuk memberantas peredaran barang impor ilegal di pasar domestik.
"Kemendag mempunyai alat dan payung hukum terkait perlindungan konsumen untuk memberantas bahkan menyita barang beredar dipasar yang tidak sesuai ketentuan label berbahasa Indonesia, aturan K3L hingga SNI wajib," ungkap Redma.
Senada, Ketua Ikatan Pengusaha Konveksi Berkarya (IPKB), Nandi Herdiaman menyatakan bahwa pemberantasan barang impor ilegal yang berdear di pasar adalah bagian dari apa yang dituntut oleh kalangan pengusaha IKM.
Pihaknya setuju langkah pemberantasan impor ilegal. Namun, dia mengingatkan bahwa permasalahan utamanya adalah masuknya barang impor ilegal dipelabuhanyang menjadi tanggung jawab Bea Cukai.
"Jadi tolong Bu Sri Mulyani jangan diam saja seolah merestui praktik impor ilegal yang dilakukan oleh banyak oknum Bea Cukai,” ujar Nandi.
IKM tekstil meminta Menteri Keuangan bertanggung jawab atas apa yang menimpa pengusaha konveksi, sebagai korban penutupan pabrik dan PHK karyawan yang disebabkan oknum pejabat dan petugas Bea Cukai.
"Mereka yang memfasilitasi importir pedagang dan perusahaan logistik nakal untuk terus menjalankan praktik importasi ilegal," pungkasnya