Bisnis.com, JAKARTA - Papua, dengan potensi lahannya yang luas, menjadi wilayah paling potensial untuk perluasan perkebunan kelapa sawit.
Pengembangan kelapa sawit, khususnya dengan menerapkan pola plasma minimal 20% di Papua, berpotensi menjadi solusi efektif untuk mendorong pembangunan sosial ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat, terutama masyarakat adat setempat.
Meskipun memiliki potensi besar, pengembangan kelapa sawit di Papua terhambat oleh beberapa faktor, antara lain, kekhawatiran investor terhadap risiko kritik dari LSM internasional, penolakan dari kelompok masyarakat adat yang ingin mempertahankan hutan adat dan mengembalikannya kepada pemilik aslinya, dan isu deforestasi dan dampak sosial perkebunan kelapa sawit.
Situasi ini sangat merugi-kan masyarakat adat Papua, karena potensi besar pembangunan untuk komoditas berkelanjutan yang secara masif bisa membuka akses ke wilayah yang tidak terjangkau, membuka pelu-ang usaha dan kerja, serta meningkatkan kualitas dan taraf hidup masyarakat adat menjadi tertutup karena ketakutan investor atas ancaman dari organisasi dan kelompok dengan agenda anti-sawit.
Daratan Papua tercatat seluas 41,3 juta ha, di mana 36 juta ha di antaranya merupakan hutan atau mencakup 87% dari total luas wilayah terse-but. Kementerian Pertanian membeberkan data, terda-pat 29 konsesi kelapa sawit yang beroperasi di Papua, dengan luas total 225.000 ha atau setara dengan 0,5% luas daratan Papua.
Sebuah porsi yang tidak berarti dibandingkan dari luas perkebunan nasional adalah 16 juta ha. Luas konsesi yang berizin mencapai sekitar 1 juta ha dan akan lebih besar lagi jika tidak dilakukan tindakan drastis pada 2021, ketika pemerintah Papua Barat mencabut 16 izin konsesi dengan total luas 340.000 ha.
Baca Juga
Data ini bertolak belakang dengan klaim kelompok anti-sawit yang menuduh pengembangan perkebunan kelapa sawit di Papua sebagai momok menakutkan dan mengancam kelestarian hutan Papua. Ironisnya para pegiat anti-sawit tidak menawarkan solusi konkret untuk membantu masyarakat miskin di Papua meningkatkan taraf hidup mereka.
Mereka justru terkesan mendukung status quo dan memelihara kemiskinan di Papua, mengabaikan kebutuhan dan program pembangunan yang diperlu-kan untuk mencapai kehi-dupan yang lebih baik.
Di lain pihak, investor perusahaan perkebunan sawit berkeyakinan bahwa dengan dipenuhinya persyaratan perizinan, termasuk Amdal dan izin lingkungan, isu deforestasi dan dampak sosial perkebunan kelapa sawit dapat dikelola dan dimitigasi. Perusahaan juga meyakini bahwa izin yang diterbit-kan telah melalui proses uji pemeriksaan yang ketat dan memenuhi semua aspek legalitas.
Selain itu, isu deforestasi di Papua perlu dikaji secara mendalam mengingat secara administratif kawasan yang dialokasi untuk perkebunan kelapa sawit di lokasi yang ditentang berada di kawasan non-hutan atau areal peng-gunaan lain, sehingga secara hukum, perizinan untuk per-kebunan sawit telah meme-nuhi aspek legalitas.
Sementara, bila kita menggunakan definisi hutan ber-dasarkan FAO atau penutupan lahan, maka tidak akan ada lahan yang dapat diman-faatkan untuk pembangunan bukan hanya perkebunan sawit tapi semua program atau proyek apapun karena pada intinya semua kegiatan pembangunan memerlukan ruang atau lahan.
Upaya terbaik adalah bagaimana kebutuhan ruang untuk pembangunan, seperti sawit ini bisa dipadukan dengan konservasi atau perlindungan lingkungan hidup melalui pembangunan sawit berke-lanjutan.
Perlu ditemukan solusi dan setidaknya bisa dica-pai melalui pengembangan kerangka kerja dan regulasi untuk mempercepat pengem-bangan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan di Papua. Selanjutnya, memperkuat standar keberlanjutan dengan akomodasi karakteristik sosial budaya yang unik, termasuk penghormatan terhadap hukum adat dan melindungi kepentingan masyarakat adat Papua.
Upaya lainnya adalah dengan melakukan pengawasan ketat terhadap pengembangan pembangunan berkelanjutan di Papua. Lalu, diteruskan dengan membentuk Forum Para Pihak Papua untuk pemba-ngunan sawit berkelanjutan sebagai wadah dialog dan diskusi antar-pemangku kepentingan.
Hal ini dikonkretkan dengan menetapkan tata ruang yang memper-timbangkan kelestarian lingkungan, peluang pemba-ngunan masyarakat berbasis adat, dan peluang industri berkelanjutan. Jangan lupa pula hal yang tidak kalah pentingnya adalah dengan mengadakan pertemuan dengan semua pemangku kepentingan untuk menyepakati kriteria dan parameter untuk area yang ditetapkan untuk pem-bangunan, termasuk area perkebunan kelapa sawit dan area yang harus dijaga kelestariannya.
Dengan solusi tersebut, diharapkan pengembang-an kelapa sawit di Papua dapat terwujud dan mem-berikan manfaat ekonomi bagi masyarakat lokal tanpa mengorbankan kelestarian lingkungan dan budaya. Pengembangan kelapa sawit di Papua memiliki potensi besar untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mendorong pembangunan daerah.