Bisnis.com, JAKARTA – Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat masih rendahnya Angka Partisipasi Kasar (APK) Perguruan Tinggi (PT) Indonesia atau Gross Enrollment Ratio untuk kategori tersier (pendidikan tinggi), yakni sebesar 31,45% per 2023. Dampak dari mahalnya uang kuliah tunggal (UKT)?
Menurut Bank Dunia, angka ini merupakan rasio total partisipasi, tanpa memandang usia, terhadap jumlah penduduk pada kelompok umur yang secara resmi sesuai dengan tingkat pendidikan yang ditunjukkan.
Artinya, hanya terdapat 31,45% penduduk Indonesia yang mendapat akses pendidikan di perguruan tinggi pada 2023, dari total penduduk usia kuliah.
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) pun turut menyoroti rendahnya akses anak-anak Indonesia ke dalam pendidikan tinggi meski anggaran pendidikan telah tersalur 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Bahkan, anggaran pendidikan senilai Rp665 triliun pada 2024 pun masih belum dapat menyelesaikan tantangan tersebut.
“Salah satu tantangan di bidang pendidikan adalah masih rendahnya akses ke pendidikan tinggi yang ditandai dengan Angka Partisipasi Kasar (APK) Perguruan Tinggi yang relatif rendah jika dibandingkan dengan negara lain di kawasan Asean,” tulis dokumen KEM-PPKF 2025, dikutip Minggu (26/5/2024).
Baca Juga
Mengutip data Bank Dunia, Indonesia tercatat memiliki angka yang lebih besar soal APK PT dari pada BPS, yakni mencapai 43% pada 2022.
Meski demikian, angka tersebut tetap lebih rendah dari Singapura dan Thailand yang menjadi dua negara tertinggi dengan partisipasi penduduknya dalam bangku kuliah.
APK PT Singapura yang menduduki bangku kuliah mencapai 97% per 2021. Sementara di Thailand, rasionya mencapai 49%.
Hanya beberapa negara yang rasionya tembus di kisaran 100%, yakni Australia, Finlandia, Yunani, Hongkong, dan China.
Kementerian Keuangan pun berusaha untuk meningkatkan APK PT dengan perluasan Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah untuk membantu biaya pendidikan anak-anak Indonesia di ranah kuliah. Tercatat pada APBN 2024, terdapat 605.400 mahasiswa yang menerima program KIP Kuliah.
Instansi yang dinakhodai Sri Mulyani Indrawati pun membuka kajian opsi skema stundent loan untuk mengurangi drop out rate.
"Untuk meningkatkan APK PT, dapat dilakukan dengan kebijakan perluasan KIP Kuliah dan beasiswa afirmasi melalui optimalisasi dana abadi pendidikan," tulisnya.
Sebagaimana diketahui, di samping adanya beasiswa untuk mendapatkan pendidikan tinggi, secara umum terdapat Uang Kuliah Tunggal alias UKT yang harus masyarakat bayar untuk mendapatkan akses pendidikan tersier tersebut.
Data BPS turut mencatat berdasarkan kuintil pengeluaran, APK PT terbesar berasal dari kuintil 5 atau orang-orang kaya, dengan cakupan mencapai 52,66%.
Sejalan dengan tingkat pengeluaran, hanya 17,51% penduduk dari kuintil 1 (masyarakat miskin) yang mengikuti perkuliahan. Sementara kuintil 2,3, dan 4 pada 2023 masing-masing memiliki angka 22,84%, 26,95%, dan 33,62%.
Adapun, isu UKT mahal menjadi polemik akhir-akhir ini, karena dikabarkan bahkan naik hingga 500%. Komisi X DPR bahkan telah memberikan waktu sepekan kepada Kemendikbud-Ristek untuk mengevaluasi polemik Uang Kuliah Tunggal (UKT).
DPR mendesak Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim untuk merevisi Permendikbud No. 2/2024, khususnya terkait biaya kenaikan atas.
APK PT di Asean Menurut Bank Dunia
Negara | APK PT |
---|---|
Brunei Darussalam | 33% (2020) |
Indonesia* | 31,45% (2023) |
Kamboja | 15% (2022) |
Laos | 12% (2021) |
Malaysia | 40% (2022) |
Myanmar | 20% (2018) |
Filipina | 35% (2021) |
Singapura | 97% (2021) |
Thailand | 49% (2022) |
Vietnam | 42% (2022) |
ket: *data BPS