Bisnis.com, JAKARTA - Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, Kementerian Perdagangan (Kemendag) Isy Karim mengatakan pihaknya tidak punya wewenang dalam menentukan aksi TikTok mengakuisisi saham Tokopedia sebagai upaya memonopoli pangsa pasar e-commerce di Indonesia.
Meskipun pada awalnya pemerintah berupaya mencegah aksi monopoli sebuah platform digital melalui Permendag No. 31/2023 tentang Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE). Namun, nyatanya Kemendag kini melenggangkan migrasi TikTok Shop secara di balik layar atau backend dengan Tokopedia.
"Itu ranahnya KPPU [Komisi Pengawas Persaingan Usaha] yang bisa memutuskan apakah ini monopoli atau persaingan tidak sehat," ujar Isy saat ditemui di Pasar Tanah Abang, Kamis (14/3/2024).
Isy pun tidak membantah bahwa tindakan TikTok mengakuisisi e-commerce lokal seperti Tokopedia bisa saja diadopsi oleh kompetitor media sosial lainnya seperti Facebook dan Instagram. Namun, ihwal keleluasaan platform tersebut untuk berjualan atau hanya sebatas melakukan promosi, kata Isy, akan tergantung dari izin yang mereka ajukan.
Apabila Facebook dan media sosial lainnya mengajukan izin social commerce, maka hanya diperbolehkan promosi dan melakukan perlindungan konsumen. Sebaliknya, saat izin e-commerce yang diajukan, kata Isy, platform tersebut harus membentuk badan usaha di dalam negeri.
"Ya bisa aja, sepanjang comply dengan Permendag 31/2023," jelasnya.
Baca Juga
Sebelumnya, pengamat teknologi sekaligus Ketua Umum Indonesia Digital Empowering Community (Idiec) Tesar Sandikapura mengatakan, penerbitan Permendag No. 31/2023 seakan sia-sia karena pemerintah gagal mencegah risiko monopoli yang dilakukan TikTok.
Menurutnya, dengan TikTok membeli Tokopedia pun sudah bisa disebut sebagai aksi monopoli. Termasuk dengan migrasi sistem yang dilakukan TikTok dan Tokopedia secara backend dianggap tidak sesuai aturan.
"Ini logikanya buat aturan untuk apa? Kalau tujuannya untuk menghilangkan monopoli ya artinya pembelian Tokopedia oleh TikTok saja itu sudah menyalahi aturan sebenarnya," ujar Tesar saat dihubungi.
Kasus TikTok di Indonesia, kata Tesar, serupa dengan yang pernah terjadi di Singapura saat Grab mengakuisisi sebagian saham Uber pada 2018. Bedanya, saat itu otoritas Singapura bereaksi keras menentang penggabungan dua perusahaan teknologi jasa transportasi itu karena dianggap sebagai tindakan memonopoli atau mengurangi persaingan usaha.
Melansir Reuters, Badan Pengawas Antimonopoli Singapura mendenda perusahaan Grab dan Uber sebesar US$9,5 juta atas kesepakatan merger mereka.
Sikap pemerintahan yang tegas atas risiko monopoli yang dilakukan sebuah perusahaan teknologi juga dilakukan oleh Uni Eropa terhadap Apple. Pemerintahan di sana bahkan mendenda Apple sebesar 500 juta euro atas dugaan pelanggaran Undang-Undang Antimonopoli.
Menurut Tesar, ada hal yang membedakan antara sikap pemerintah negara-negara maju itu dengan pemerintah Indonesia. Otoritas di Singapura maupun Uni Eropa turut memposisikan diri sebagai konsumen sehingga lebih mementingkan upaya perlindungan hak konsumen dari aksi monopoli suatu korporasi.
Tesar menilai, bergabungnya TikTok dengan Tokopedia menandakan kekuatan yang semakin besar karena terjadi interkoneksi data pengguna media sosial dengan e-commerce. Ketika konsumen telah bergantung pada satu kekuatan besar atau tidak punya banyak pilihan, eksploitasi justru rawan terjadi.
"Ketika sekarang kita tidak punya pilihan ini kan bahaya monopoli, mereka bisa bebas menaikkan harga karena konsumen tidak punya pilihan lagi," ucapnya.