Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memproyeksikan terdapat 13,86 juta ton bauksit yang tidak terserap di dalam negeri dari kemampuan produksi hulu tambang tahun ini. Jumlah tersebut setara dengan nilai ekspor US$494,6 juta atau Rp7,7 triliun.
Proyeksi itu menggambarkan idle capacity atau kapasitas menganggur yang dialami sekitar 80 perusahaan pemegang izin usaha pertambangan atau IUP bauksit domestik.
Otoritas mineral menghitung risiko bauksit tidak terserap itu setara dengan nilai ekspor sekitar US$494,6 juta.
Belakangan, hanya 15 perusahaan sampai dengan 16 perusahaan pemegang IUP yang masih beroperasi dengan kemampuan produksi di level 13,88 juta ton keseluruhan.
“Dari 80 IUP bauksit memang ada sekitar 15-16 IUP pada 2023 yang berproduksi dikarenakan IUP-IUP ini yang memiliki afiliasi dengan Smelter Alumina yang saat ini telah beroperasi,” kata Direktur Pembinaan Program Minerba Julian Ambassadur Shiddiq saat dihubungi, Selasa (13/2/2024).
Selepas moratorium ekspor bauksit per 10 Juni 2023, pemerintah mengidentifikasi kapasitas input empat smelter yang sudah beroperasi komersial di dalam negeri sebanyak 13,88 juta ton, dengan kapasitas produksi smelter grade alumina (SGA) mencapai 4,3 juta ton.
Baca Juga
“Rencana produksi bauksit ke depan kemungkinan sebesar kapasitas input dari smelter yang sudah beroperasi saat ini karena tidak ada kebijakan relaksasi ekspor biji bauksit yaitu 14 juta ton,” kata Julian.
Kendati demikian, rencana produksi 14 juta ton itu bisa bertambah seiring dengan penambahan kapasitas input refinery plant pertengahan tahun ini.
“Angka [produksi] tersebut bisa bertambah bila ada tambahan smelter alumina yang beroperasi,” kata dia.
Adapun, keempat smelter yang beroperasi saat ini, di antaranya PT Well Harvest Winning Alumina Refinery, Ketapang, dengan kapasitas produksi SGA mencapai 1 juta ton. Lalu, smelter PT Well Harvest Winning Alumina Refinery hasil ekspansi yang menambah kapasitas produksi SGA perusahaan sebanyak 1 juta ton.
Smelter yang sudah beroperasi ketiga milik PT Indonesia Chemical Alumina, Tayan, dengan kapasitas produksi chemical grade alumina (CGA) mencapai 300.000 ton. Selanjutnya, smelter keempat milik PT Bintan Alumina Indonesia, Bintan, dengan kapasitas produksi SGA sebesar 2 juta ton.
Sementara itu, selain usaha patungan Inalum dan Antam, terdapat 7 IUP yang mendirikan smelter, di antaranya PT Quality Sukses Sejahtera, PT Dinamika Sejahtera Mandiri, PT Parenggean Makmur Sejahtera, PT Persada Pratama Cemerlang, PT Sumber Bumi Marau, PT Kalbar Bumi Perkasa, dan PT Laman Mining.
Delapan rencana smelter anyar itu memiliki kapasitas input bauksit mencapai 27,41 ton dan kapasitas produksi alumina sebesar 9,98 juta ton.
Hanya saja, Indonesia baru memiliki satu pabrikan aluminium milik PT Indonesia Asahan Aluminium atau Inalum, Kuala Tanjung, dengan kapasitas input alumina sekitar 500.000 ton setiap tahunnya.
Sementara kemampuan produksi Inalum untuk aluminium ingot berada di batas atas 225.000 ton, aluminium alloy dengan kapasitas 90.000 ton, dan aluminium billet dengan kemampuan produksi 30.000 ton.
Seperti diberitakan sebelumnya, Asosiasi Pengusaha Bauksit dan Bijih Besi Indonesia (APB3I) menyesalkan belum terbitnya persetujuan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) periode 2024-2026 perusahaan tambang bauksit hingga awal tahun ini.
Pelaksana Harian Ketua Umum APB3I Ronald Sulistyanto mengatakan lambannya persetujuan dari otoritas mineral menyebabkan belasan perusahaan tambang yang masih beroperasi di tengah larangan ekspor bauksit berhenti berproduksi.
Padahal, kata Ronald, pabrik alumina domestik sudah meminta bahan baku dari penambang bauksit saat ini.
“Sampai hari ini belum keluar, sekarang kan penambang bauksit itu kan tinggal 10 atau 12 yang mengajukan RKAB itu sedikit sekali, RKAB belum keluar kita juga tidak bisa kerja,” kata Ronald saat dikonfirmasi, Selasa (13/2/2024).