Bisnis.com, JAKARTA - Awal tahun 2024 ini disambut dengan dua laporan dari World Economic Forum dan World Bank, yang memberikan pesan bahwa prospek perekonomian saat ini yang tak pasti dan melaju dengan lambat dalam 30 tahun terakhir.
Dalam The Global Risk Report 2024 19th Edition, World Economic Forum melaporkan bahwa berdasarkan Executive Opinion Survey (EOS), kekhawatiran akan penurunan ekonomi tersebar luas di antara responden sektor swasta, muncul sebagai risiko lima besar di 102 negara, meningkat signifikan dari 2022.
Adapun Executive Opinion Survey (EOS) dari World Economic Forum bertujuan untuk mengidentifikasi risiko-risiko yang menjadi ancaman paling besar bagi setiap negara dalam dua tahun ke depan, seperti yang diidentifikasi oleh lebih dari 11.000 pemimpin bisnis di 113 negara.
Dilaporkan, bahwa kurangnya koherensi dalam proyeksi dua tahun kedepan mungkin dapat terjadi, terutama terkait mengenai inflasi, suku bunga dan tingkat pertumbuhan.
Dengan adanya pandangan yang berbeda, maka ada risiko kesalahan kalibrasi oleh bank sentral, pemerintah dan perusahaan dapat meningkat. Hal ini dapat memperdalam dan memperpanjang risiko ekonomi.
Prospek jangka pendek kemudian juga dinilai tidak pasti. Hal ini akibat adanya faktor domestik di beberapa pasar terbesar di dunia dan perkembangan geopolitik.
Baca Juga
Adapun, konflik perdagangan yang berlanjut dan kertakan geoekonomi antara Amerika Serikat (AS), Uni Eropa, China, menambah ‘bumbu’ ketidakpastian ekonomi yang signifikan di masa mendatang.
Tekanan Harga
Pasar memang telah mengantisipasi penurunan suku bunga di negara-negara utama pada paruh pertama 2024. Namun, tekanan inflasi menghambat perjalanan untuk mencapai target tersebut. Jika tekanan harga berlanjut, maka bank sentral dapat ragu untuk memangkas suku bunga, berpotensi memperpanjang periode inflasi dan suku bunga yang tinggi.
Meskipun inflasi sebagian terkendali melalui kenaikan suku bunga, masih ada risiko signifikan dari tekanan harga sisi penawaran dalam dua tahun mendatang. Misalnya, dampak El Nino pada produksi pangan dan logistik dapat meningkatkan inflasi dan gangguan rantai pasokan.
Potensi kenaikan harga energi dan gangguan jalur pelayaran akibat konflik di Timur Tengah dapat memperburuk dampak perang di Ukraina. Dampak terhadap biaya hidup dari inflasi yang terus berlanjut, yang diperkirakan akan menurun pada 2024, dapat kembali muncul seiring dengan berlanjutnya konflik di Timur Tengah.
“Kebijakan industri yang lebih kuat dan kontrol perdagangan yang berasal dari negara-negara maju, yang menargetkan transisi hijau dan teknologi canggih, juga dapat tetap menjadi tren inflasi yang terus-menerus selama periode ini,” terang World Economic Forum laporan tersebut.
Ketidakpastian dari Dua Ekonomi Terbesar
Ekonomi China diproyeksikan mengalami perlambatan tahun ini karena melemahnya pasar properti dan permintaan lokal dan global. Meskipun mempertahankan peringkat kredit 'A1', prospek utang pemerintah China baru-baru ini diturunkan menjadi 'negatif' karena risiko terkait pertumbuhan ekonomi jangka menengah yang secara struktural dan terus-menerus lebih rendah.
Meski demikian, investasi di sektor manufaktur dan infrastruktur energi tetap menjadi pendorong pertumbuhan. Jika tidak adanya reaksi geoekonomi lebih lanjut, kelebihan kapasitas dalam manufaktur yang lebih maju, terutama dalam teknologi hijau, dapat membantu menangkal tekanan harga global, memberikan momentum untuk transisi hijau dan permintaan global.
Di AS, pertumbuhan ekonomi diperkirakan mencapai 2,4% pada tahun 2024 dan adanya perkiraan penurunan suku bunga pada paruh pertama 2024.
Kebijakan fiskal tetap longgar bahkan ketika kebijakan moneter mengetat, dengan AS yang mengalami defisit US$1,7 triliun pada 2023 yang secara efektif menggandakan defisit dalam satu tahun terakhir saja. Hal ini dapat terus menciptakan tekanan harga. Korelasi sentimen konsumen dan pengeluaran juga menambah ketidakpastian.
Di lain sisi, pembayaran utang juga meningkat pada kuartal III/2023 mencapai lebih dari US$981 miliar, meningkat US$753 miliar dibandingkan tahun sebelumnya (year-on-year) setara dengan anggaran pertahanan. Konsolidasi fiskal apapun atau kebuntuan politik terkait beban utang dapat berdampak besar pada pasar dan perdagangan global.
Perkiraan perlambatan yang tinggi dapat menyebabkan intervensi lebih awal atau lebih tajam pada suku bunga, memicu kembali tekanan harga dari sisi permintaan. Pemilihan presiden AS pada November 2024 juga menciptakan ketidakpastian baru, dengan bergantung pada pilihan kebijakan pemerintah berikutnya.
Kesulitan Utang
Suku bunga yang lebih tinggi di tengah melambatnya pertumbuhan akan membebani beban utang baik bagi sektor publik maupun swasta.
Berbeda dengan perusahaan-perusahaan terbesar di dunia, perusahaan-perusahaan kecil dan menengah, yang menjadi tulang punggung banyak pasar domestik, akan sensitif pada perlambatan pertumbuhan ekonomi dan tingkat suku bunga yang tinggi.
Negara-negara yang memiliki banyak utang juga terpapar pada kondisi ekonomi ini. Risiko gagal bayar utang pemerintah dapat meningkat, dan banyak pemerintah mungkin tidak dapat atau tidak mau membantu meredam dampak ekonomi seperti sebelum-sebelumnya, sehingga mempertajam perlambatan pagi perusahaan dan individu.
Melandainya Pertumbuhan Ekonomo
Bank Dunia pada Global Economic Prospect pada Januari 2024 melaporkan bahwa perekonomian global pada akhir 2024 melaju dengan kecepatan yang paling lambat dalam setengah dekade 30 tahun terakhir.
Berdasarksn proyeksinya, produk domestik bruto (PDB) diperkirakan mencapai sebesar 2,4% pada akhir 2024, lebih rendah dari proyeksi sebelumnya dengan 2022 yang mencapai 3% dan 2023 yang mencapai sebesar 2,6%,
Bank Dunia juga mengatakan bahwa aktivitas ekonomi global terus melemah di tengah dampak mengetatnya kebijakan moneter, kondisi keuangan yang membatasi dan pertumbuhan perdagangan global yang lemah.
Konflik baru-baru ini di Timur Tengah juga meningkatkan risiko geopolitik, meningkatkan ketidakpastian di pasar komoditas dengan potensi implikasi yang merugikan bagi pertumbuhan global.
World Economic Forum mengatakan bahwa hasil-hasil dalam laporannya, menunjukan lanskap risiko global di mana kerentanan ekonomi, geopolitik dan sosial akan terus meningkat. Perkembangan yang mengkhawatirkan yang muncul saat ini berpotensi menjadi risiko global yang kronis dalam dekade mendatang.
Untuk itu, ia menyarankan bahwa strategi lokal dengan memanfaatkan investasi dan regulasi sangat penting untuk mengurangi dampak risiko global, Sektor publik maupun swasta dapat berperan dalam memperluas manfaat bagi semua.
Memprioritaskan masa depan dan berfokus pada terobosan penelitian dan pengembangan, upaya dari satu entitas dapat membuat dunia menjadi tempat yang lebih aman.
Tindakan masing-masing warga negara, perusahaan, dan negara, meskipun tidak signifikan secara individu, dapat membantu mengurangi risiko jika mereka mencapai masa kritis.
“Koordinasi lintas batas tetap menjadi satu-satunya jalur yang layak untuk risiko yang paling kritis terhadap keamanan dan kemakmuran manusia,” jelas laporan tersebut.
Kepala Ekonom dan Wakil Presiden Senior Grup Bank Dunia Indermit Gill juga mengatakan bahwa pertumbuhan jangka pendek akan tetap lemah, sehingga banyak negara berkembang, utamanya negara-negara termiskin akan terjebak pada tingkat utang yang sangat besar dan lemahnya akses pangan bagi hampir satu dari setiap tiga orang.
Ia berpendapat bahwa hal tersebut dapat menghambat kemajuan dalam banyak prioritas global. Namun peluang juga masih ada untuk membalikkan keadaan.
“Tanpa koreksi besar-besaran, tahun 2020-an akan menjadi dekade dengan peluang yang terbuang sia-sia,” jelasnya dalam keterangan resmi pada Rabu (10/1).