Bisnis.com, JAKARTA - Kondisi kelebihan pasokan atau oversupply listrik membuat PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN akan sulit untuk meningkatkan kapasitas terpasang panel surya.
Analis Energi Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) Putra Adhiguna menilai kondisi itu akan berdampak pada rencana meningkatkan kapasitas terpasang dari panel surya dalam rencana penyediaan listrik sampai 2030 mendatang.
Putra berpendapat, PLN masih dihadapkan pada persoalan kelebihan pasokan listrik dari program 35.000 megawatt (MW) pembangkit batu bara dan gas.
“Secara fundamental utamanya adalah kelebihan kapasitas PLTU dan situasi keuangan PLN yang tidak mudah membuat pengadaan PLTS selalu maju dan mundur,” kata Putra saat dihubungi, Minggu (12/11/2023).
Dalam situasi kelebihan kapasitas, kata Putra, dorongan bagi PLN untuk menambah bauran serta jaringan pendukung untuk pembangkit listrik tenaga surya atau PLTS menjadi tidak mudah.
Seperti diketahui, kapasitas terpasang panel surya di Indonesia hingga akhir 2022 baru berada di level 0,3 gigawatt (GW). Kapasitas setrum panel surya itu terpaut jauh dari torehan Thailand dan Vietnam, masing-masing mencatatkan kapasitas 3,1 GW dan 18,5 GW.
Baca Juga
Sementara itu, Indonesia juga masih tertinggal dari Malaysia, Filipina dan Kamboja yang masing-masing mencatatkan kapasitas terpasang 1,9 GW, 1,6 GW dan 0,5 GW per 2022 lalu.
“Vietnam tidak memiliki kelebihan kapasitas dan masih terus berusaha mengimbangi permintaan listrik mereka sehingga situasinya berbeda,” kata Putra.
Lewat RUPTL yang berakhir 2030, PLN menargetkan realisasi terpasang panel surya dapat menyentuh di angka 5 GW nantinya.
Konsultan manajemen multinasional McKinsey and Company memproyeksikan PLN mesti memasukkan sekitar 0,7 GW listrik dari panel surya ke dalam sistem setiap tahunnya untuk mencapai target penyediaan listrik tersebut.
Sementara itu, sebagian pelaku usaha menilai pemerintah perlu mempercepat finalisasi revisi Peraturan Menteri ESDM Nomor 26/2021 tentang PLTS Atap di tengah stagnannya investasi serta kapasitas terpasang setrum dari panel surya selama 1 dekade terakhir.
Chief Commercial Officer SUN Energy Dion Jefferson mengatakan saat ini pelaku industri panel surya belum memiliki kepastian aturan main yang jelas ihwal investasi serta pengembangan panel surya di dalam negeri lantaran revisi beleid yang berlarut-larut.
“Segera memfinalisasi revisi Permen 26/2021 dan diimplementasikan saja. Supaya pelaku industri dan pelanggan mendapat kepastian aturan main PLTS di Indonesia,” kata Dion saat dihubungi, Minggu (12/11/2023).
Selain itu, Dion menambahkan, PLN perlu mempercepat proses lelang proyek-proyek transisi energi seperti Hijaunesia 2023 dan dedieselisasi yang belum juga selesai hingga akhir tahun ini.
Menurut dia, molornya lelang dari dua program inisiatif PLN itu turut menjadi faktor stagnannya upaya peningkatan kapasitas pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di dalam sistem kelistrikan nasional saat ini.
“Kelihatannya memang sinkronisasi atau harmonisasi ESDM dan PLN sepanjang 2022-2023 ini menjadi salah satu penyebabnya,” kata dia.
Sebelumnya, Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, perseroan tengah melelang program dedieselisasi tahap 1 yang menyasar 94 lokasi, terbagi ke dalam dua klaster wilayah barat dan timur Indonesia.
Rencananya, kata Darmawan, pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) yang masuk ke dalam program ini akan digantikan oleh panel surya dengan potensi 200 megawatt (MW). Di sisi lain, terdapat potensi investasi tambahan pada battery energy storage systems (BESS) sebesar 350 MWh pada tahap awal tersebut.
Selanjutnya, potensi pengembangan tambahan untuk tahap dua dan tiga mencapai 800 MWp panel surya. Adapun, hak pengelolaan diberikan selama 20 tahun sejak commercial operation date atau COD.
“Dan untuk itu klaster 1 itu ada 48 lokasi, klaster 2 ada 46 lokasi dengan total megawattnya 200, ada BESS sebesar 350 MWh,” kata Darmawan saat rapat dengar pendapat Panja Transisi Energi Komisi VI di DPR, Jakarta, Senin (2/10/2023).