Bisnis.com, JAKARTA - Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka resmi mendaftarkan diri sebagai calon presiden dan wakil presiden pada Pemilu 2024. Dalam visi dan misinya, salah satu program yang menjadi fokus Prabowo-Gibran adalah terkait pangan.
Dalam dokumen janji politiknya, paslon ini menargetkan minimal tambahan 4 juta hektare luas panen tanaman pangan tercapai pada 2029. Target tersebut merupakan upaya keduanya untuk mencapai swasembada pangan.
“Ditargetkan minimal tambahan 4 juta hektare luas panen tanaman pangan tercapai pada 2029,” demikian bunyi dokumen itu, dikutip Senin (30/10/2023).
Lebih lanjut, dijelaskan dalam program kerja Asa Cita 2 utamanya pada bagian swasembada pangan, salah satu cara untuk mencapai target tersebut adalah dengan merevitalisasi jutaan hektare lahan yang rusak menjadi lahan produktif untuk peningkatan produksi pangan. Sehingga, ini dapat mendukung kemandirian dan ketahanan pangan nasional.
Lantas, apakah target penambahan luas panen pangan 4 juta hektare pada 2029 cukup realistis?
Pengamat Pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (Aepi), Khudori, menyebut, realistis atau tidaknya target tersebut tergantung pada program yang akan dilakukan Prabowo-Gibran dalam lima tahun ke depan, jika terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden 2024-2029.
Baca Juga
Merujuk pada dokumen visi misinya, perluasan lahan panen 4 juta hektare untuk 7 komoditas, yaitu padi, jagung, kedelai, singkong, tebu, sagu, dan sukun, dilakukan dengan ekstensifikasi dan intensifikasi.
“Guna mencapai swasembada pangan, dibutuhkan peningkatan produktivitas lahan pertanian melalui berbagai program intensifikasi dan ekstensifikasi lahan,” mengutip dokumen yang sama.
Khudori menilai, dua langkah ini perlu diperinci lebih detail dari tahun ke tahun agar tampak realistis. Menurutnya, ekstensifikasi mau tidak mau harus dilakukan mengingat amat rendahnya lahan pangan per kapita. Demikian pula intensifikasi menjadi pilihan realistis lantaran peluangnya masih cukup besar.
Tanaman singkong misalnya. Khudori menuturkan, produktivitas singkong dapat digenjot hingga 75 persen, dengan pengusahaan intensif dan pupuk khusus. Sama halnya dengan komoditas lain.
Namun masalahnya adalah bagaimana cara menggenjot produktivitas itu ke dalam peta jalan detail dari tahun ke tahun. Di samping itu, yang tak kalah penting adalah memastikan eksekusi peta jalan agar benar-benar bisa diimplementasikan di lapangan.
“Karena itu, ketika menyusun target ini harus betul-betul disesuaikan dengan kondisi riil di lapangan,” kata Khudori kepada Bisnis, Senin (30/10/2023).
Kondisi Lahan RI
Jika melihat realita saat ini, Khudori mengatakan bahwa lahan di Indonesia terbatas. Luas daratan Indonesia mencapai 1,9 juta kilometer persegi, mencakup sungai, rawa, dan hutan.
Bila dibagi jumlah penduduk sebanyak 276 juta jiwa, luasan per kapita hanya 0,70 hektare. Jika yang dihitung hanya lahan yang bisa ditanami (arable land) yang luasnya 26,3 juta hektare, maka ketersediaan lahan yang bisa ditanami per kapita lebih kecil lagi, hanya 0,096 hektare.
Di samping itu, penyediaan lahan pertanian di Indonesia khususnya sawah amat tertinggal. Khudori mengungkapkan, AS memiliki lahan pertanian sekitar 175 juta hektare, China 143 juta hektare, Brasil 58 juta hektare, Australia 50 juta hektare, dan Thailand 31 juta hektare.
Sementara itu, merujuk hasil audit Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) pada 2019, lahan sawah Indonesia hanya seluas 7,46 juta hektare. Di lahan yang terbilang kecil itu, selain berkompetisi belasan komoditas pangan, setiap tahun juga mengalami konversi ke penggunaan non-pertanian.
“Ketika luas panen sebuah komoditas naik akan diikuti penurunan luas panen komoditas yang lain. Penambahan lahan pangan adalah keniscayaan,” pungkasnya.