Bisnis.com, JAKARTA - Seiring dengan pencabutan status pandemi Covid-19 pada 21 Juni 2023, beberapa kondisi perekonomian sudah mulai menunjukkan perbaikan.
Misalnya saja pertumbuhan ekonomi yang dapat tumbuh 5,11% pada semester I/2023. Suatu pencapaian yang perlu diapresiasi di tengah berbagai tantangan dinamika ekonomi global.
Selain itu, indikator sosial ekonomi juga mulai mengalami perbaikan. Tingkat kemiskinan menurun hingga ke angka 9,36% pada Maret 2023. Begitu juga dengan penduduk miskin ekstrem yang turun menjadi 1,12% pada Maret 2023 dari sebelumnya 2,14% pada Maret 2021. Bahkan pemerintah menargetkan pada 2024 tingkat kemiskinan menjadi 6,5%—7,5% dan kemiskinan ekstrem 0%.
Untuk mencapai target tersebut tentu diperlukan pembiayaan yang tidak sedikit. Terlebih lagi dampak scarring effect atau luka memar pada perekonomian akibat pandemi dapat memberatkan upaya pengurangan kemiskinan di tengah belum pulihnya beberapa indikator sosial seperti penurunan upah serta tingginya informalitas dan rasio gini.
Misalnya saja upah nominal di 7 sektor lapangan usaha yang menyerap hampir 50% tenaga kerja Indonesia pada Februari 2023 mengalami penurunan jika dibandingkan dengan Februari 2020. Hal ini diperparah dengan pertumbuhan upah lebih rendah dibandingkan tingkat inflasinya. Pertumbuhan upah pada Februari 2023 hanya 1,8% sementara inflasinya mencapai 5,47%.
Penurunan upah nominal dan rendahnya pertumbuhan upah dibandingkan inflasi dapat makin menggerus daya beli sehingga menurunkan kesejahteraan yang berujung pada jurang kemiskinan. Bertambahnya penduduk yang jatuh miskin tentu akan menambah biaya untuk pengentasannya.
Baca Juga
Selain itu, mengacu kepada laporan BPS terdapat sekitar 3,67 juta orang yang merupakan angkatan kerja terdampak pandemi.
Bersamaan dengan itu, penciptaan lapangan kerja formal pun masih rendah, hal ini terlihat dari bertambahnya proporsi pekerja yang bekerja di sektor informal hingga 60% dari total tenaga kerja. Padahal informalitas ini akan berbanding lurus dengan kemiskinan.
Indeks gini pada Maret 2023 pun masih cukup tinggi yakni 0,388 sementara tahun 2019 sebesar 0,382. Beberapa kondisi di atas menegaskan bahwa pekerjaan rumah pemerintah dalam menyelesaikan dampak scarring effect dari pandemi masih belum selesai.
STRATEGI FISKAL
Kebijakan fiskal menjadi instrumen krusial dalam mengentaskan kemiskinan dan mengurangi ketimpangan sebagaimana tertuang dalam SDGs 10. Namun, tidaklah mudah untuk membiayai berbagai agenda penting di atas mengingat terbatasnya ruang fiskal pemerintah.
Saat ini tax ratio Indonesia masih berkisar pada angka 10,4%, lebih rendah jika dibandingkan dengan negara peers seperti Malaysia, Thailand ataupun India. Meningkatkan tax ratio menjadi yang utama.
Saat ini pemerintah tengah melakukan reformasi perpajakan. Pemerintah harus bisa menggali sektor-sektor potensial yang dapat menyumbang penerimaan pajak, salah satunya sektor pertambangan. Kontribusi sektor pertambangan terhadap perekonomian menduduki peringkat 5 besar.
Meskipun demikian, pertumbuhan penerimaan pajak dari sektor pertambangan selama periode 2015—2019 rata-rata hanya mencapai 5%, masih relatif rendah dibandingkan pertumbuhan penerimaan pajak beberapa sektor jasa seperti transportasi dan komunikasi yang secara ukuran ekonomi sebenarnya relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan sektor pertambangan.
Selain melakukan cross-check data pajak di dalam negeri, menganalisa data pajak luar negeri juga menjadi penting. Mengacu kepada laporan dari Global Financial Integrity (GFI), Indonesia berada di posisi ketujuh negara dengan aliran keuangan gelap terbesar, dengan estimasi aliran keuangan ilegal mencapai US$187 Juta.
Tidak hanya di level pusat, peran pemerintah daerah juga menjadi penting dalam pendanaan fiskal. Sayangnya, kapasitas fiskal pemerintah daerah terbatas. Sebagian besar daerah sangat mengandalkan transfer pusat. Selain itu, sebanyak 62% dari total belanja pemerintah daerah digunakan untuk belanja pegawai dan barang. Sementara untuk bantuan sosial hanya 1%.
Di tengah keterbatasan tersebut tentu akan sulit bagi pemerintah untuk mewujudkan target-target SDGs. Sehingga diperlukan alternatif pembiayaan bagi daerah untuk mempercepat menurunkan kemiskinan.
Berdasarkan UU HKPD No. 1/2022, Pemda sebenarnya punya alternatif pendanaan berbentuk obligasi daerah. Beberapa Provinsi sebelumnya hampir menerbitkan obligasi daerah. Hanya saja tidak terealisasikan.
Untuk bisa mendorong penerbitan obligasi perlu dukungan dari berbagai stakeholder di daerah dari pejabat eksekutif hingga pejabat legislatif di DPRD dan tokoh politik di daerah. Perlunya mengupayakan bersama untuk bisa menerbitkan obligasi daerah, dan mengawasi penggunaan dana hasil obligasi daerah.
Penerbitan ini tentu juga perlu dilakukan dengan sangat hati-hati dan proses mitigasi yang jelas. Artinya, tidak hanya ketentuan mengenai rasio-rasio tertentu yang harus dipenuhi, namun juga bagaimana ketentuan gagal bayar dan konsekuensi yang muncul di dalamnya.
Hal-hal seperti ini perlu menjadi perhatian dan arahan dari pemerintah pusat yang lebih punya pengalaman dalam hal penerbitan obligasi.