Bisnis.com, JAKARTA – Hari ini, 20 Oktober 2023, genap 9 tahun pemerintahan Presiden ke-7 RI Joko Widodo. Selama hampir dua periode menjabat, kinerja ekonomi belum mampu tumbuh sesuai dengan mimpi Jokowi, sebesar 7%.
Mimpi tersebut nyaris mustahil dicapai dengan sisa jabatan setahun ini. Pasalnya dalam Rancangan Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) pada 2024 ekonomi diramal hanya tumbuh 5,2%.
Periode kedua pemerintahan Jokowi penuh dengan turbulensi. Wabah Covid-19 meluluh lantakkan kinerja ekonomi. Bahkan, saat pagebluk melanda pada 2020, pertumbuhan ekonomi terkontraksi -2,07% pertumbuhan terendah pascareformasi.
Setelah pandemi, pertumbuhan ekonomi beranjak naik. Hingga mencapai kinerja tertinggi pada tahun lalu 5,31%. Jauh dari target 7% yang dicanangkan oleh Jokowi saat kampanye pada periode pertama dan kedua.
Pandemi memang satu faktor. Namun, Jokowi memompa sektor infrastruktur untuk menggerakan perekonomian. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebutkan bahwa sepanjang 2015-2022 pemerintahan Jokowi menggelontorkan anggaran infrastruktur Rp2.778 triliun.
Bahkan, menjelang paripurna, Jokowi mengerek anggaran infrastruktur hingga menyentuh rekor tertinggi sepanjang sejarah republik ini. Dalam pidato penyampaian RAPBN beserta Nota Keuangan 2024, Rabu (16/8), Jokowi menyampaikan alokasi anggaran infrastruktur sebesar Rp422,7 triliun, naik 5,8% dibandingkan dengan pos tahun ini.
Baca Juga
Besaran alokasi anggaran infrastruktur tersebut jauh berbeda bila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Saat Jokowi memimpin pada 2014, alokasi anggaran infrastruktur mencapai Rp157,4 triliun.
Pada 2015 anggaran infrastruktur langsung dikerek 62,8% menjadi Rp256,1 triliun. Selanjutnya, pada 2016 nilainya kembali naik menjadi Rp269,1 triliun. Lonjakan massif anggaran infrastruktur kembali terjadi pada 2017. Anggaran yang dikucurkan naik 41,6% menjadi Rp381,2 triliun.
Adapun, pada 2018 dan 2019 jumlah anggaran infrastruktur yang dialokasikan masing-masing sebesar Rp394 triliun dan Rp394,1 triliun. Pada 2020, alokasi anggaran infrastruktur dipangkas 22% menjadi Rp307,3 triliun.
Anggaran ini banyak dialokasikan pembangunan jalan tol. Rezim ini pun membandingkan panjang jalan tol yang beroperasi hingga 2022 mencapai 2.687 kilometer. Angka itu naik signifikan jika dibandingkan pada 2014 yang baru mencapai 802 kilometer.
Kemudian, anggaran infrastruktur juga digunakan untuk pembangunan jalan umum yang mencapai 549.160 kilometer hingga 2022. Selanjutnya, pembangkit listrik 81,20 GW hingga 2022, pembangunan bendungan 16,96 miliar m3, pembangunan 287 bandara dan 3.157 pelabuhan hingga 2022.
Beda Ekonomi Era Jokowi dengan SBY
Nilai anggaran infrastruktur era Jokowi jauh berbeda dengan periode Presiden ke-4 RI Susilo Bambang Yudhoyono. Menurut data yang diolah Bisnis, dalam rentang 2005-2013 total anggaran infrastruktur yang digelontorkan periode SBY sebesar Rp824,8 triliun.
Data Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) menyebutkan anggaran infrastruktur era SBY (2014) hanya 9,48% dari belanja negara. Kemudian pada 2015 meningkat menjadi 14,64%. Angka tersebut terus meningkat hingga nyaris menyentuh 20% pada saat ini.
Namun, realitasnya pertumbuhan ekonomi pada era SBY tidak pernah disamai oleh Jokowi. Rata-rata pertumbuhan ekonomi pada era SBY mencapai 6,26%, sedangkan Jokowi hanya mencapai 4,26%--perhitungan rata-rata berikut asumsi 2023 dan 2024.
Bahkan, pada era SBY pertumbuhan ekonomi nyaris menyentuh 7%, yakni pada 2007 yang mencapai 6,9%.
Dalih krisis kesehatan yang berdampak pada ekonomi dapat saja menjadi alasan Jokowi sehingga pertumbuhan ekonomi tidak tercapai 7%. Akan tetapi, perlu dicatat bahwa pada era SBY pun terjadi krisis keuangan global pada 2008 yang membuat ekonomi terkoreksi.
Dampak krisis 2008 itu memukul pertumbuhan ekonomi di level terendah 4,5%. Kemudian ekonomi beranjak naik ke level 6%-an. Berbeda dengan era Jokowi, pandemi membuat pertumbuhan ekonomi kontraksi, dan baru naik ke level 5% pada tahun lalu.
Jokowi lebih menitik beratkan pembangunan infrastruktur. Pada saat pandemi, anggaran infrastruktur terus dipompa dengan memangkas pos sosial atau penggerak konsumsi. Hal ini berbeda dengan era SBY yang banyak membagi-bagikan bansos sebagai bantalan konsumsi.
Anggaran subsidi energi yang berhasil dipangkas Jokowi banyak dialokasikan ke infrastruktur. Pada 2014, alokasi subsidi energi mencapai 18,66% dari belanja negara. Turun menjadi 6,95% pada 2015. Bahkan, saat ini di bawah 5%.
Dengan melihat realitas saat ini, tampaknya janji surga pertumbuhan ekonomi 7% hanya akan menjadi mimpi hingga akhir periode pemerintahan Jokowi.
"Ke depan, saya meyakini bahwa ekonomi kita bisa tumbuh di atas 7%, dengan catatan iklim investasi beserta regulasinya itu betul-betul terbuka dan memberikan kesempatan untuk investor lokal bergerak menciptakan pertumbuhan ekonomi," ujar Jokowi pada Juni 2014.
Pertumbuhan ekonomi era SBY:
2004 | 5,13 |
2005 | 5,6 |
2006 | 5,5 |
2007 | 6,9 |
2008 | 6,1 |
2009 | 4,5 |
2010 | 6,1 |
2011 | 6,17 |
2012 | 6,03 |
2013 | 5,56 |
2014 | 5,01 |
Pertumbuhan ekonomi era Jokowi:
2015 | 4,88 |
2016 | 5,03 |
2017 | 5,07 |
2018 | 5,17 |
2019 | 5,02 |
2020 | -2,07 |
2021 | 3,69 |
2022 | 5,31 |
2023* | 5,3 |
2024* | 5,2 |
*proyeksi