Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Pertanian (Kementan) menyebut adanya anomali yang mempengaruhi harga beras naik dalam setahun terakhir.
Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementan, Suwandi menjelaskan alasan harga beras masih tinggi kendati pasokan masih tersedia. Menurutnya, ada anomali yang terjadi dalam pembentukan harga beras selama setahun terakhir.
"Hukum supply demand ekonomi kurang berlaku sejak Agustus tahun lalu sampai sekarang. Ada barang tapi harga tetap naik," ujar Suwandi dalam rapat koordinasi pengendalian inflasi secara virtual, Senin (9/10/2023).
Dia mengatakan, sejumlah faktor yang membuat harga gabah menjadi tinggi saat ini lantaran biaya produksi yang naik signifikan. Mulai dari benih, pupuk, dan obat-obatan. Di sisi lain harga pokok pembelian (HPP) gabah pun telah naik sejak panen raya Maret 2023.
Menurutnya, baru kali ini harga gabah di petani menyentuh level tertinggi hingga lebih dari Rp7.000 per kilogram. Harga gabah yang tinggi itu mendorong nilai tukar petani (NTP) tanaman pangan di atas poin 100.
"Artinya surplus, petani menikmati. Itu seumur-umur, biasanya [NTP] di bawah 100," tuturnya.
Baca Juga
Meskipun saat ini petani tengah diuntungkan, Suwandi mengatakan perlu ada kesimbangan harga antara produsen dengan konsumen. Dengan begitu, harga beras yang terjangkau bisa tetap dirasakan masyarakat. Oleh karena itu, Suwandi mengimbau agar petani tidak menyetok gabahnya dan segera melepas ke pasar agar pasokan segera melimpah.
Lebih lanjut, Suwandi mengatakan harga gabah dan beras yang tinggi juga dipengaruhi dari sistem logistik, distribusi dan struktur pasar hingga psikologi pasar.
"Faktor aksesibilitas karena kita negara kepulauan memang ada pengaruhnya," ucap Suwandi.
Dia merujuk pada data marginal perdagangan dan pengangkutan (MPP) dari Badan Pusat Statistik (BPS). MPP setiap daerah berbeda-beda, adapun MPP paling efisien sebesar 8 persen, tetapi sejumlah daerah ada yang memiliki MPP hingga 28 persen.
"Itu kondisinya, disparitas harga [beras] karena faktor MPP," kataya.
Suwandi mengatakan disparitas terjadi mulai di struktur penggilingan. Hanya ada 1.000 penggilingan besar, sementara penggilingan sedang sebanyak 7.000 dan penggilingan kecil sebanyak 160.000 unit. Jumlah yang jomplang itu, membuat gabah tidak bisa diakses oleh penggilingan kecil.
Struktur pasar pun, lanjutnya, juga mengalami disparitas harga yang cukup dalam antara produsen dengan konsumen. Setidaknya, dia menyebut ada 7-9 mata rantai atau step dari gabah menjadi beras di pasaran.
"Di pasar beras, ada 278 juta [jiwa] kalau semua makan beras itu ada 30,2 juta ton [beras]. Kalau dari hitung-hitungannya sih aman," ucapnya.
Sebagai informasi, menyitir data panel harga pangan, Badan Pangan Nasional, rata-rata harga beras kualitas medium per 8 Oktober 2023 masih di level Rp13.200 per kilogram. Begitupun dengan beras kualitas premium harga rata-rata Rp14.920 per kilogram.
Harga beras tersebut telah melampaui harga eceran tertinggi (HET) beras yang di tingkat konsumen yang ditetapkan pemerintah dalam Perbadan No.7/2023 sebesar Rp10.900-Rp11.800 per kilogram untuk beras medium, dan Rp13.900-Rp14.800 per kilogram untuk beras premium.
Bahkan, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat harga beras pada September 2023 telah mengalami inflasi 18,44 persen (yoy) secara tahunan, menjadi tertinggi sejak 2014. Selain itu, inflasi beras bulanan mencapai 5,61 persen (mtm) pada September 2023 menjadi yang tertinggi sejak Februari 2018.