Bisnis.com, SOLO - Pemerintah telah melarang TikTok Shop di Indonesia. Padahal menurut penelitian ada yang lebih berbahaya dari belanja di TikTok Shop.
Pemerintah Indonesia dalam waktu dekat bakal menerapkan aturan pelarangan social commerce melakukan transaksi jual beli, melainkan hanya boleh untuk wadah promosi melalui revisi Permendag No.50/2020.
Penutupan fitur jual beli di platform TikTok pun menuai pro dan kontra. Pemerintah ingin melindungi produk dan UMKM lokal, padahal sejumlah penjual mengaku sangat terbantu dengan adanya TikTok Shop.
Ada banyak pembahasan menarik yang disampaikan oleh netizen terkait keputusan pemerintah untuk menutup TikTok Shop di Indonesia ini.
Akan tetapi, beberapa saran menyebut bahwa pemerintah seharusnya melakukan kajian yang lebih dalam sebelum membuat keputusan. Sebab, satu hal yang dikeluhkan salah satu pihak belum tentu dikeluhkan oleh pihak yang lain.
Sebab masyarakat tidak bisa menampik fakta jika kehadiran TikTok Shop telah membawa kemudahan bagi beberapa pelaku UMKM lainnya.
Baca Juga
Salah satu pelaku usaha yang juga menggunakan TikTok Shop, Andre mengatakan sistem algoritma TikTok telah berhasil mendongkrak penjualan produknya.
Dia juga mengaku produk yang dijual olehnya merupakan produk hasil konveksi lokal. Harga jual produk yang murah di TikTok Shop, kata dia, disebabkan adanya insentif berupa diskon harga yang diberikan pihak platform kepada pengguna.
"Kami menjual dengan harga yang keuntungan tidak terlalu besar, tapi penjualan bisa banyak. Memang ada insentif diskon dari platform tersebut, namun kuotanya terbatas," ungkap Andre dalam FGD tersebut.
Bahkan melalui pernyataan resminya, TikTok mengayakan bahwa 6 juta penjual dan 7 juta konten kreator yang dirugikan karena hal ini.
"Kami sangat menyayangkan terkait pengumuman hari ini (27/09), terutama bagaimana keputusan tersebut akan berdampak pada penghidupan 6 juta penjual dan hampir 7 juta kreator affiliate yang menggunakan TikTok Shop," kata perwakilan TikTok.
Bicara soal TikTok Shop tentu tak lepas dari budaya belanja online yang grafiknya kian meningkat sejak pandemi Covid-19 kemarin.
Menurut data dari NielsenIQ, jumlah masyarakat yang menggunakan e-commerce mencapai 32 juta orang pada 2021. Jumlahnya melesat 88 persen dibandingkan 2020 yang hanya 17 juta orang.
Data itu seolah hendak menjelaskan bahwa pergeseran budaya (dari tradisional ke online) memang tidak dapat dibendung. Yang bisa dilakukan adalah melakukan pembatasan-pembatasan yang kiranya merugikan satu pihak dan pihak lainnya.
Sebuah jurnal berjudul CONSUMER BEHAVIOR SHIFTING IN THE ERA OF DISRUPTION IN INDONESIA menyebut bahwa beralihnya perilaku konsumen dari perilaku konvensional ke online seseorang memicu perubahan pada organisasi bisnis.
Ini bisa diterjemahkan menjadi tugas berat juga bagi pelaku bisnis tradisional untuk mengikuti perkembangan zaman, dengan bantuan dari pemerintah yang teknisnya bisa didiskusikan lebih lanjut.
Apalagi pergeseran ke arah belanja online tidak hanya menguntungkan pelanggan tetapi juga dunia usaha.
E-commerce telah memungkinkan bisnis menjangkau khalayak global, memperluas basis pelanggan, dan meningkatkan penjualan.
Selain itu, bisnis online dapat mengurangi biaya operasional mereka, karena mereka tidak perlu memelihara toko fisik, sehingga mengurangi biaya overhead.
Solusi pemerintah dan solusi TikTok
Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki menolak platform media sosial asal Cina, TikTok menjalankan bisnis media sosial dan e-commerce secara bersamaan di Indonesia.
Hal ini seiring dengan penolakan serupa yang dilakukan dua negara lain, yakni Amerika Serikat dan India.
“India dan Amerika Serikat berani menolak dan melarang TikTok menjalankan bisnis media sosial dan e-commerce secara bersamaan. Sementara, di Indonesia TikTok bisa menjalankan bisnis keduanya secara bersamaan,” kata Teten dalam Rapat Kerja dengan Komisi VI DPR RI di Jakarta.
Teten mempersilakan TikTok berjualan, tapi tidak disatukan dengan media sosial. Karena dari riset dan survei dilakulan pola orang belanja online itu ternavigasi dipengaruhi perbincangan di media sosial. Belum lagi sistem pembayaran logistik mereka kendalikan semua.
“Ini namanya monopoli,” kata Teten.
Jika permasalahannya "hanya" alogaritma, maka TikTok bisa membuat aplikasi terpisah dan masalah soal regulasi akan selesai. Tapi yang dikeluhkan UMKM dan pelaku bisnis bukan alogaritmanya melainkan mereka yang kalah saing dengan artis yang turut berjualan di TikTok Shop.
Yang lebih berbahaya dari TikTok Shop
Namun peralihan ke belanja online bukannya tanpa tantangan. Salah satu kekhawatiran utama adalah keamanan transaksi online.
Ancaman keamanan siber seperti peretasan, phishing, dan pencurian identitas semakin meningkat seiring dengan maraknya e-commerce, dan pelanggan harus berhati-hati saat melakukan transaksi online.
Belum hilang dari ingatan tentang kasus bocornya data masyarakat Indonesia ke situs web. Ini membuktikan bahwa keamanan siber Indonesia masih rendah.
Kemudian di dunia internasional, beberapa negara memblokir TikTok lantaran khawatir dengan keamanan data masyarakatnya. Negara-negara yang memblokir TikTok karena keamanan data yakni Australia, Belgia, Kanada, Denmark, Uni Eropa dan sebagainya.