Bisnis.com, JAKARTA – Direktur Eksekutif Segara Institute Piter Abdullah Redjalam mengungkapkan bahwa belanja pemerintah melalui subsidi bunga kredit usaha rakyat (KUR) tidak produktif.
Bahkan, Piter menyebutkan bahwa belanja subsidi dari pos Anggaran Ketahanan Sosial tersebut merupakan pemborosan dan rawan penyalahgunaan.
“KUR itu pemborosan anggaran, sasaran kur meningkatkan akses dari UMKM ke perbankan. Tapi setelah KUR tumbuh terus, apakah UMKM kita sudah naik kelas? Sudah mendapatkan akses ke perbankan lebih baik?” ujarnya dalma Mini Talkshow DetikFinane: Bedah RAPBN 2024 di Jakarta, Rabu (20/9/2023).
Dirinya mengaku juga telah meminta kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menghentikan program subsidi bunga KUR. Pasalnya, hasil temuan BPK sangat potensial adanya penyalahgunaan dan kasus dalam penyaluran subsidi bunga KUR.
Berdasarkan catatan BKF Kementerian Keuangan, tren pagu subsidi bunga KUR terus meningkat sejak 2017 hingga 2023. Tahun ini, pemerintah mengalokasikan subsidi bunga KUR sebesar Rp40,94 triliun dengan target plafon Rp297 triliun. Hingga 30 Juni 2023, telah terealisasi sejumlah Rp14,36 triliun.
Pada 2022, pemerintah menyalurkan subsidi bunga KUR sebesar Rp23,1 triliun dan realisasi KUR senilai Rp365,5 triliun yang dimanfaatkan oleh 7,6 juta debitur.
Baca Juga
Kepala Pusat Kebijakan APBN Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Wahyu Utomo tidak mengelak bahwa subsidi bunga KUR memang tak produktif.
Pada dasarnya, tujuan pemberian subsidi bunga KUR memang untuk meningkatkan kemudahan akses UMKM ke perbankan dan memberdayakan UMKM sehingga naik kelas.
“Kalau naik kelas, jangan berlama-lama di situ, jangan pakai KUR lagi, pakai yang komersial,” ujarnya.
Maka dari itu, pada 2023 pemerintah telah melakukan desain ulang bunga KUR agar lebih adil dan tepat sasaran. Sebelumnya bunga KUR bagi usaha super mikro, mikro, maupun kecil dipukul rata pada angka 6 persen.
Kini, untuk usaha super mikro menggunakan bunga 3 persen. Sementara usaha mikro dikenakan bunga KUR bertahap mulai dari 6 persen, jika kreditur mengulangi peminjaman, bunga naik menjadi 7 persen dan seterusnya hingga batas 9 persen.
“Dengan harapan redesign tadi, KUR bisa lebih tepat sasaran, adil, dan UMKM bisa meningkat kapasitasnya,” kata Wahyu.
Sementara itu, Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede juga melihat adanya belanja yang tidak produktif dalam daftar pengeluaran pemerintah.
Sebut saja belanja pegawai, belanja barang, serta belanja di APBD yang kerap dilakukan menjelang akhir tahun, bukan di awal tahun. Menurut Josua, belanja yang harus didorong adalah program-program yang memilik efek rambatan atau multiplier effect yang besar.
“Bukan hanya sebatas pengadaan barang ataupun perjalanan dinas, saya pikir itu dari sisi tingkat urgensi dan produktivitasnya rendah,” katanya.
Untuk itu, dirinya meminta pemerintah untuk memfokuskan belanja sejak awal tahun agar sepenuhnya tidak terkonsentrasi di akhir tahun.