Bisnis.com, JAKARTA - Harga beras yang tinggi disinyalir terjadi akibat tidak seimbangnya produksi dalam negeri dengan kebutuhan yang bisa dilihat dari jumlah warga di Indonesia.
Beras menjadi salah satu bahan pangan yang belakangan banyak mendapat sorotan publik lantaran harga melonjak signifikan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa inflasi harga beras sejak Januari - Agustus 2023 mencapai 7,99 persen (year-to-date/ytd).
Pemerintah berdalih, kenaikan harga beras lantaran pasokan yang rendah. Produks di musim kering karena El Nino yang rendah disebut-sebut telah mendongkrak harga gabah hingga beras. Adapun data panel harga pangan Badan Pangan Nasional (Bapanas) menunjukkan harga beras kualitas medium hari ini Rp12.850 per kilogram.
Kepala Bapanas, Arief Prasetyo Adi mengatakan para penggilingan padi saat ini kesulitan mendapatkan gabah kering panen (GKP). Bahkan, harga GKP saat ini telah berada di kisaran Rp7.000-Rp8.000 per kilogram.
"Yang harus kita kerjakan bersama saat ini adalah meningkatkan produksi," ujar Arief dalam keterangannya, Selasa (19/9/2023).
Bila ditinjau ulang, sebenarnya tanda-tanda krisis beras telah terlihat sejak 2018. Data BPS menunjukkan bahwa produksi beras dalam 5 tahun terakhir sejak 2018-2022 cenderung stagnan dengan rata-rata 31,93 juta ton. Padahal di tahun 2017 produksi beras mencapai 47,33 juta ton, artinya pada 2018 produksi beras anjlok hingga 28,2 persen (year-on-year/yoy).
Baca Juga
Produksi beras yang cenderung stagnan ternyata berbanding terbalik dengan tren kenaikan jumlah penduduk Indonesia. Adapun rata-rata kenaikan jumlah penduduk Indonesia selama 5 tahun terakhir mencapai 2,9 juta per tahun. Apabila menggunakan asumsi BPS terkait dengan konsumsi beras per kapita per tahun sebesar 81,04 kilogram, maka perlu tambahan beras sebanyak 235.016 ton per tahun.
Sayangnya, produksi padi sejak 2019-2022 juga stagnan dengan rata-rata di kisaran 54 juta ton gabah kering giling (GKG). Apalagi produktivitas sawah di dalam negeri rata-rata juga hanya 5,1 ton per hektare dalam lima tahun belakangan. Hal itu juga diiringi dengan luas panen yang mandek di angka 10,71 juta hektare.
Kendati demikian, pemerintah selalu mengklaim bahwa produksi beras surplus dari angka konsumsi tahunan. Menyitir data BPS 2018-2022, rata-rata surplus beras sebesar 2,5 juta ton.
Anggota Ombudsman, Yeka Hendra Fatika menyebut bahwa surplus beras setiap tahunnya cenderung hanya berupa angka saja. Kenyataannya, surplus yang diklaim pemerintah kerap tidak diketahui persis di mana keberadaan barangnya.
"Yang realistis, kalau memang kita surplus harus ekspor dong, ekspor kan ada laporan pajaknya, ini kan enggak ada, artinya yang surplus itu bagaimana? Ya itu surplus di angka saja," ujar Yeka saat ditemui di Kantor Ombudsman, Senin (18/9/2023).
Selain surplus yang dianggap terlalu tipis, Yeka juga melihat adanya kemungkinan bahwa produksi beras tahunan yang diupayakan Kementan tidak mempertimbangkan penambahan jumlah penduduk yang semakin banyak.
"Jadi persoalannya itu tetap pasokan, saya tidak bicara Kementan gagal dalam meningkatkan produksi, tetapi pertanyaannya, sejauh mana pasokan kita memenuhi kebutuhan pasar," ucap Yeka.