Bisnis.com, JAKARTA - Rencana Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida untuk kembali mendongkrak anggaran belanja pertahanan pada 2024 bakal menjadi indikator kurang baik berkaitan kondusivitas di kawasan Indo-Pasifik.
Sebagai informasi, berdasarkan laporan Reuters baru-baru ini, pemerintah Jepang berencana mengajukan belanja pertahanan untuk tahun fiskal 2024 senilai JP¥7,7 triliun (setara US$52 miliar) atau sekitar Rp801 triliun.
Angka ini tercatat naik 13 persen yoy ketimbang bujet pertahanan Jepang tahun ini senilai JP¥6,8 triliun.
Pengamat Hubungan Internasional sekaligus Rektor Universitas Jenderal Achmad Yani (Unjani) Hikmahanto Juwana melihat keseriusan Jepang mengerek belanja pertahanan tak bisa lepas dari pengaruh Amerika Serikat (AS) dalam menjaga eksistensinya di kawasan Indo-Pasifik.
Terlebih, di tengah ketegangan hubungan AS-China, para sekutu dan mitra dagang utama AS dalam kawasan Indo-Pasifik mau tak mau harus mengikuti tren penguatan pertahanan dan militer miliknya.
"Bisa jadi ini akibat tensi AS-China, tetapi juga keinginan mitra AS seperti Jepang untuk melakukan burden sharing atas keamanan di kawasan. Walaupun, dari sisi AS, ujung-ujungnya juga agar perekonomian AS bisa berputar melalui Industri pertahanannya," ungkapnya kepada Bisnis, Sabtu (9/9/2023).
Hal itu turut tergambar berdasarkan Strategic Management Plan Departement of Defense (DoD) AS untuk tahun fiskal 2022-2026, di mana National Defense Strategy (NDS) AS pun menyinggung China dan Indo-Pasifik sebagai salah satu kawasan prioritas aktivitas pertahanannya.
Mengutip isi NDS dari laman resmi DoD AS, terdapat empat prioritas kegiatan yang akan digelar sampai 2026. Pertama, untuk menghadang ancaman multidomain yang ditimbulkan oleh China. Kedua, mencegah serangan strategis terhadap AS beserta para sekutu dan mitra.
Ketiga, mencegah agresi, sembari bersiap untuk memenangkan konflik bila perlu, dengan prioritas sumber ancaman dari RRT di Indo-Pasifik dan tantangan Rusia di Eropa. Terakhir, membangun kekuatan gabungan alias Joint Force beserta ekosistem pertahanan secara tangguh.
Sementara itu, Jepang pun tengah serius mendongkrak plafon bujet pertahanan sampai tembus 2 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2027, tergambar dari laporan Bujet dan Program Pertahanan Jepang FY2023 di laman resmi Kementerian Pertahanan Jepang (mod.go.jp).
Sebelumnya, Jepang memiliki kebijakan menekan plafon bujet pertahanan di bawah 1 persen PDB sejak 1962. Namun, setelah PM Shinzo Abe menghapus kebijakan tersebut pada 2017, Jepang telah secara bertahap mengerek bujet pertahanannya, sampai akhirnya melampaui 1 persen PDB secara perdana pada periode 2020.
Berdasarkan Defense Buildup Program yang digagas pemerintah Jepang pada akhir 2022, Jepang berupaya memperkuat pertahanan multidomain, dengan fokus untuk mengimbangi kekuatan potensi lawan dan cara-cara peperangan baru.
"Pada 2027 atau lima tahun dari sekarang, Jepang akan memperkuat kemampuan pertahanan sampai pada titik di mana Jepang mampu mengambil tanggung jawab untuk menangani invasi terhadap negeri sendiri, serta mengacaukan dan mengalahkan ancaman-ancaman, bersama dukungan sekutu dan lainnya," tulis laporan tersebut.
Pada laporan tersebut juga tertulis bahwa Jepang tengah menyoroti ancaman regional atas aktivitas militer China, rudal balistik Korea Utara, dan upaya mengatasi dampak-dampak agresi militer Rusia terhadap Ukraina.
Adapun, berkaitan tren impor Jepang untuk sektor pertahanan dan persenjataan, dominasi AS pun tak terbantahkan, terutama untuk pesawat tempur dan rudal, tergambar berdasarkan data Institut Penelitian Perdamaian Internasional Stockholm (SIPRI).
Data SIPRI pun menyebut sekitar 97 persen dari total persenjataan impor Jepang pada 2018-2022 ditopang oleh AS. Menyusul kemudian, Inggris dengan persentase 1,9 persen, dan Swedia dengan porsi 0,3 persen dari total.
Adapun, Hikmahanto juga menyoroti Pemilu Presiden Taiwan yang akan berlangsung pada 13 Januari 2024 nanti sebagai salah satu indikator yang bisa menjadi momentum puncak ketegangan AS-China di kawasan Indo-Pasifik dalam waktu dekat.
Apabila pesta politik di Taiwan itu tetap berjalan kondusif, maka ketegangan antara Beijing dengan Washington beserta sekutunya bisa jadi berkurang, kemudian mulai memasuki fase antiklimaks.
"Kalau di Taiwan, setiap kali ada pemilu memang salah satu isu yang dikampanyekan oleh beberapa calon adalah kemerdekaan. Ini sebenarnya tidak terkait langsung dengan tensi AS-China, meski AS bertindak seolah-olah militernya akan membantu Taiwan apabila China menyerang," tutupnya.